50 Narapidana di Sulsel Dapat Amnesti Presiden Prabowo, Termasuk Kasus Makar dan ODGJ
Sebanyak 50 narapidana di Sulawesi Selatan, termasuk pelaku makar dan ODGJ, menerima Amnesti Presiden Prabowo Subianto, memicu rasa penasaran publik.

Sebanyak 50 narapidana yang tersebar di berbagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan (Rutan) se-Sulawesi Selatan (Sulsel) telah mendapatkan amnesti atau pengampunan hukuman dari Presiden Prabowo Subianto. Keputusan penting ini diumumkan pada 5 Agustus, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2025.
Pemberian Amnesti Presiden ini merupakan langkah signifikan dalam sistem peradilan pidana Indonesia, mencerminkan pertimbangan mendalam dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan Sulawesi Selatan, Rudy Fernando Sianturi, menjelaskan bahwa keputusan ini telah melalui proses yang cermat.
Dari total 50 narapidana yang menerima amnesti, empat di antaranya adalah narapidana dalam kasus makar, yang menarik perhatian khusus. Selain itu, terdapat narapidana kasus narkotika, lansia, Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ), serta kasus Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), menunjukkan spektrum luas dari penerima amnesti ini.
Dasar Hukum dan Kriteria Pemberian Amnesti
Pemberian Amnesti Presiden ini berlandaskan pada kerangka hukum yang kuat, yaitu Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2025 tentang Pemberian Amnesti. Keputusan ini selaras dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014, yang mengatur wewenang DPR dalam memberikan pertimbangan kepada Presiden terkait amnesti dan abolisi.
Selain itu, Peraturan Presiden Nomor 155 Tahun 2024 tentang Kementerian Hukum juga menjadi pijakan. Peraturan ini mengamanatkan Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum untuk menyelenggarakan berbagai fungsi, termasuk perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang amnesti sesuai ketentuan perundang-undangan.
Kriteria narapidana yang berhak menerima Amnesti Presiden mencakup beberapa kategori spesifik. Kategori tersebut meliputi narapidana dan anak binaan tindak pidana pengguna narkotika, narapidana tindak pidana makar tanpa senjata api, serta narapidana kasus ITE yang melakukan penghinaan terhadap Kepala Negara atau Pemerintah.
Tidak hanya itu, amnesti juga diberikan kepada narapidana dan anak binaan berkebutuhan khusus. Kategori ini mencakup Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ), penderita paliatif, disabilitas intelektual, dan narapidana yang berusia di atas 70 tahun, menunjukkan perhatian terhadap kondisi khusus para warga binaan.
Profil Penerima Amnesti di Sulsel
Dari 50 narapidana yang mendapatkan Amnesti Presiden, tercatat 27 orang di antaranya langsung bebas. Sementara itu, 23 narapidana lainnya telah bebas sebelum pemberian amnesti ini, dengan rincian dua orang bebas murni, delapan orang cuti bersyarat, dan 13 orang pembebasan bersyarat. Ini menunjukkan proses administrasi yang dinamis.
Data dari Kanwil Ditjenpas Sulsel merinci jenis kejahatan para penerima amnesti. Sebanyak 37 orang adalah pengguna narkotika, enam orang berusia di atas 70 tahun, satu orang ODGJ, satu orang kasus ITE, dan empat orang tindak pidana makar tanpa senjata api. Angka-angka ini memberikan gambaran jelas mengenai komposisi penerima amnesti.
Secara spesifik di Lapas Kelas I Makassar, tiga narapidana kasus makar tanpa senjata api yang menerima amnesti adalah Yance Kambuaya (divonis 5 tahun), Aldolof Nauw (divonis 4 tahun), dan Alex Bless (divonis 4 tahun). Ketiganya dihukum karena menyuarakan kemerdekaan Papua dan mengibarkan bendera Bintang Kejora di Manokwari pada November 2022. Kasus ini menyoroti isu sensitif di wilayah tersebut.
Selain itu, narapidana kasus ODGJ yang mendapatkan amnesti adalah Hamka bin Ladaude, yang divonis 12 tahun penjara atas kasus pembunuhan. Keempat narapidana ini, baik dari kasus makar maupun ODGJ, telah dibebaskan setelah menerima amnesti. Ini menegaskan komitmen pemerintah terhadap keadilan restoratif.
Amnesti sebagai Wujud Keadilan Restoratif
Pelaksana Kepala Lapas Kelas I Makassar, Novian Endus Santoso, menyatakan bahwa pemberian Amnesti Presiden ini merupakan bentuk penghargaan. Penghargaan ini diberikan atas upaya perbaikan diri yang telah dilakukan oleh para narapidana selama menjalani masa hukuman mereka. Hal ini sejalan dengan filosofi pemasyarakatan.
Novian menambahkan bahwa amnesti ini juga merupakan langkah konkret dalam melaksanakan keadilan restoratif (RJ). Keadilan restoratif sendiri adalah salah satu tujuan utama dari sistem pemasyarakatan, yang berfokus pada pemulihan hubungan dan reintegrasi narapidana ke masyarakat. Ini bukan hanya tentang hukuman, tetapi juga rehabilitasi.
Pemberian amnesti ini diharapkan dapat mendorong narapidana lainnya untuk terus berupaya memperbaiki diri. Dengan adanya kesempatan kedua ini, mereka diharapkan dapat kembali menjadi anggota masyarakat yang produktif dan tidak mengulangi kesalahan di masa lalu. Hal ini juga menjadi sinyal positif bagi sistem peradilan.
Per 2 Agustus 2025, jumlah penghuni Lapas dan Rutan se-Sulsel tercatat sebanyak 11.656 orang, dengan rincian 8.132 narapidana dan 3.524 tahanan. Angka ini menunjukkan bahwa meskipun ada pemberian amnesti, jumlah warga binaan tetap signifikan, menyoroti tantangan berkelanjutan dalam sistem pemasyarakatan.