AAUI dan OJK Koordinasi Atur Ulang Polis Asuransi Usai Putusan MK
AAUI berkoordinasi intensif dengan OJK untuk menyesuaikan aturan polis asuransi setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Pasal 251 KUHD inkonstitusional bersyarat, melarang pembatalan sepihak.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 83/PUU-XXII/2024 telah mengubah lanskap industri asuransi di Indonesia. Keputusan ini, yang dibacakan pada 3 Januari lalu, menyatakan Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) inkonstitusional bersyarat. Pasal tersebut sebelumnya memberikan perusahaan asuransi hak untuk membatalkan polis secara sepihak. Hal ini memicu Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) untuk segera berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Ketua AAUI, Budi Herawan, menyatakan koordinasi dengan OJK berjalan intens. Mereka tengah berupaya menyesuaikan aturan polis asuransi agar sesuai dengan putusan MK. Budi berharap proses penyesuaian ini dapat dilakukan secara efisien dan terkoordinir melalui AAUI, sehingga semua pelaku industri dapat mengikuti aturan baru tanpa kesulitan.
Penyesuaian aturan ini sangat penting untuk mencegah potensi moral hazard. Putusan MK berpotensi memicu tindakan tidak bertanggung jawab dari sebagian nasabah. Misalnya, mereka mungkin akan sengaja memberikan informasi yang salah atau bahkan merusak properti mereka sendiri untuk mendapatkan klaim asuransi. Oleh karena itu, langkah antisipatif dari AAUI dan OJK sangat diperlukan.
AAUI memandang putusan MK sebagai kesempatan untuk meningkatkan industri perasuransian. Budi Herawan menjelaskan bahwa AAUI sebenarnya sudah mulai meninjau ulang klausul-klausul polis sejak tahun lalu. Target penyelesaiannya adalah tahun depan, dengan tujuan menyederhanakan dan menyeragamkan klausul-klausul tersebut. Tujuannya, agar tidak terjadi tumpang tindih dan merugikan baik perusahaan asuransi maupun nasabah.
Tantangan yang dihadapi AAUI cukup besar. Mereka harus menyeimbangkan kepentingan pelaku industri dan masyarakat. Salah satu landasan hukum yang menjadi acuan adalah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), yang menekankan perlindungan konsumen. AAUI berkomitmen untuk menjaga keseimbangan, sehingga peraturan baru melindungi hak konsumen tanpa menghambat operasional perusahaan asuransi.
Putusan MK mencabut Pasal 251 KUHD yang sebelumnya berbunyi: “Semua pemberitahuan yang keliru atau tidak benar, atau semua penyembunyian keadaan yang diketahui oleh tertanggung, meskipun dilakukannya dengan itikad baik, yang sifatnya sedemikian, sehingga perjanjian itu tidak akan diadakan, atau tidak diadakan dengan syarat-syarat yang sama, bila penanggung mengetahui keadaan yang sesungguhnya dari semua hal itu, membuat pertanggungan itu batal”. MK menilai pasal tersebut inkonstitusional bersyarat karena tidak mempertimbangkan putusan pengadilan dalam pembatalan pertanggungan.
Ketua MK, Suhartoyo, menyatakan bahwa norma Pasal 251 KUHD bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘termasuk berkaitan dengan pembatalan pertanggungan harus didasarkan atas kesepakatan penanggung dan tertanggung berdasarkan putusan pengadilan’.
Kesimpulannya, koordinasi antara AAUI dan OJK menjadi sangat krusial dalam menyusun aturan baru yang adil dan melindungi semua pihak. Proses ini membutuhkan kehati-hatian dan pertimbangan yang matang untuk memastikan stabilitas dan perkembangan industri asuransi ke depannya.