Anggota DPRD DKI Minta Penundaan Kenaikan Tarif PAM Jaya
Anggota Komisi B DPRD DKI Jakarta, Francine Widjojo, meminta PAM Jaya menunda kenaikan tarif air bersih karena memberatkan warga rumah susun, terutama dengan tarif progresif yang dinilai tidak adil.
Anggota Komisi B DPRD DKI Jakarta, Francine Widjojo, menyuarakan keprihatinan terkait kenaikan tarif air bersih PAM Jaya yang dinilai memberatkan pelanggan, khususnya penghuni rumah susun. Pernyataan ini disampaikan Senin lalu di Jakarta, menyusul keluhan yang diterima dari Persatuan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun Indonesia (P3RSI).
Francine menjelaskan, berdasarkan audensi dengan P3RSI, permasalahan utama terletak pada penyesuaian tarif yang dianggap tidak adil bagi penghuni apartemen. Rata-rata pemakaian air bersih di apartemen tidak mencapai 10 meter kubik, namun penghuni dikenakan tarif batas atas untuk pemakaian kurang dari 20 meter kubik dengan sistem tarif progresif. Hal ini dinilai memberatkan karena mereka dipaksa membayar tarif yang seharusnya ditujukan untuk pemakaian air yang jauh lebih besar.
Lebih lanjut, Francine mempertanyakan dasar penetapan tarif PAM Jaya. Ia menjelaskan bahwa secara aturan, PAM Jaya seharusnya hanya dapat menaikkan tarif air minum, bukan air bersih. Karena banyak warga Jakarta masih mengakses air bersih, seharusnya ada perbedaan tarif antara keduanya. Ia menyarankan agar PAM Jaya menunda kenaikan tarif hingga tahun 2025.
Ketua Umum DPP P3RSI, Adjit Lauhatta, turut menyoroti ketidakwajaran peraturan tarif baru PAM Jaya. Ia mempertanyakan dasar penggolongan rumah susun yang disamakan dengan gedung bertingkat tinggi komersial, kondominium, dan pusat perbelanjaan, dengan tarif Rp21.500 per meter kubik. Menurutnya, penggolongan tersebut tidak tepat karena fungsi dan peruntukan rumah susun sebagai hunian berbeda dengan bangunan komersial.
Adjit menekankan bahwa kenaikan tarif air bersih sebesar 71 persen, dari Rp12.500 menjadi Rp21.500, sangat memberatkan penghuni rumah susun. Mereka juga menanggung biaya perawatan instalasi air bersih di gedungnya yang mencapai miliaran rupiah setiap tahunnya. Ia menyayangkan kebijakan ini, terutama karena pemerintah mendorong masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) untuk tinggal di rumah susun, namun justru membebani mereka dengan tarif air bersih tertinggi.
Kedua pihak sepakat bahwa perlu adanya peninjauan kembali terhadap kebijakan tarif PAM Jaya. Mereka berharap pemerintah daerah dapat mempertimbangkan keluhan warga dan mencari solusi yang lebih adil dan berpihak pada masyarakat, khususnya penghuni rumah susun. Permasalahan ini menjadi sorotan penting karena menyangkut aksesibilitas air bersih bagi masyarakat dan keadilan dalam penerapan tarif layanan publik.
Perdebatan mengenai kenaikan tarif PAM Jaya ini masih terus berlanjut. Publik menantikan respon dan solusi konkret dari pihak PAM Jaya terkait tuntutan penundaan kenaikan tarif dan peninjauan kembali sistem tarif yang dinilai tidak adil bagi penghuni rumah susun.