Bahlil Ajak Investor Bangun Pabrik LPG, Tekan Impor Migas
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengajak investor membangun pabrik LPG di Indonesia untuk mengurangi ketergantungan impor migas yang telah merugikan negara hingga Rp500 triliun lebih per tahun.
![Bahlil Ajak Investor Bangun Pabrik LPG, Tekan Impor Migas](https://cdns.klimg.com/mav-prod-resized/0x0/ori/image_bank/2025/02/12/000105.988-bahlil-ajak-investor-bangun-pabrik-lpg-tekan-impor-migas-1.jpeg)
Jakarta, 11 Februari 2024 - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) RI, Bahlil Lahadalia, melontarkan ajakan menarik kepada para investor dan pengusaha dalam negeri. Dalam Mandiri Investment Forum (MIF) 2025, Selasa lalu, Bahlil secara terbuka mengajak mereka untuk berinvestasi dalam pembangunan pabrik liquified petroleum gas (LPG) di Indonesia. Langkah ini bertujuan untuk mengurangi, bahkan menghentikan, ketergantungan Indonesia pada impor migas yang selama ini telah membebani perekonomian nasional.
Investasi LPG: Solusi Impor Migas Indonesia?
Bahlil menekankan potensi pasar LPG dalam negeri yang besar dan menjanjikan. "Saya undang bapak, ibu semua, investor yang mau, silahkan bangun pabrik LPG. Market-nya captive, pembiayaannya langsung dari Bank Mandiri. Ini captive sekali karena langsung kontrak dengan Pertamina," ujarnya. Pernyataan ini menunjukkan keseriusan pemerintah dalam mendukung investasi di sektor ini, dengan menawarkan kemudahan akses pembiayaan dan jaminan pasar yang terjamin.
Data yang disampaikan Bahlil cukup mengkhawatirkan. Pada tahun 2024, produksi LPG nasional hanya mencapai 1,97 juta metrik ton (MT), jauh di bawah konsumsi domestik yang mencapai 8,23 MT untuk LPG bersubsidi dan 0,67 juta MT untuk nonsubsidi. Defisit ini memaksa Indonesia mengimpor LPG hingga 6,91 juta MT pada tahun lalu.
Infrastruktur Gas Nasional: Langkah Strategis Pemerintah
Pemerintah tidak hanya mengandalkan investasi swasta. Bahlil juga menjelaskan upaya pemerintah dalam membangun infrastruktur pendukung, seperti jaringan gas nasional. "Untuk menutupi supply gas dari Sumatra, dari Jawa Timur, kita lagi membangun pipa gas sebagai ‘jalan tol’ agar bisa memenuhi kebutuhan di Sumatra dan Jawa,” jelasnya. Pembangunan infrastruktur ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi distribusi gas dan mendukung industri gas dalam negeri.
Ancaman Defisit Migas dan Dampaknya pada Perekonomian
Selain LPG, Bahlil juga menyoroti permasalahan defisit minyak mentah. Produksi minyak nasional pada 2024 hanya mencapai 212 juta barel, jauh lebih rendah dari konsumsi nasional yang mencapai 1,5 hingga 1,6 juta barel per hari. Akibatnya, Indonesia harus mengimpor minyak mentah dan bahan bakar minyak (BBM) hingga 313 juta barel, dengan rincian 112 juta barel minyak mentah dan 201 juta barel BBM. Konsumsi BBM nasional tahun lalu mencapai 532 juta barel, dengan 52 persen digunakan untuk sektor transportasi.
Dampak dari ketergantungan impor migas ini sangat signifikan. Bahlil mengungkapkan bahwa Indonesia kehilangan devisa lebih dari Rp500 triliun per tahun akibat impor minyak. "Devisa negara Indonesia harus kehilangan Rp500 T lebih karena impor minyak, dan ini juga mungkin menjadi salah satu faktor kenapa nilai tukar rupiah terhadap dolar melemah,” katanya. Ia menambahkan bahwa hal ini mempengaruhi neraca perdagangan, neraca pembayaran, dan devisa negara.
Kesimpulan: Tantangan dan Peluang di Sektor Migas Indonesia
Indonesia menghadapi tantangan besar dalam memenuhi kebutuhan energi nasional. Ketergantungan pada impor migas tidak hanya membebani perekonomian, tetapi juga berdampak pada nilai tukar rupiah. Ajakan Bahlil kepada investor untuk membangun pabrik LPG merupakan langkah strategis untuk mengurangi ketergantungan impor dan mendorong investasi di sektor energi dalam negeri. Dengan dukungan infrastruktur yang memadai dan kebijakan yang kondusif, Indonesia memiliki peluang untuk mengurangi defisit migas dan memperkuat ketahanan energi nasional.