Bahlil: IMF Sebabkan Penyakit Ekonomi RI Pasca Reformasi, Anjloknya Lifting Minyak Jadi Bukti!
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengkritik kebijakan IMF pasca reformasi yang dinilai memperburuk ekonomi Indonesia, khususnya anjloknya lifting minyak hingga Indonesia harus impor.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, secara tegas menyatakan bahwa kehadiran International Monetary Fund (IMF) pasca reformasi justru telah menimbulkan berbagai masalah ekonomi di Indonesia. Pernyataan tersebut disampaikannya dalam Indonesia Economic Summit di Jakarta pada Rabu. Bahlil menuding rekomendasi IMF justru memperparah, bukannya menyembuhkan, kondisi ekonomi Indonesia. Salah satu contoh yang ia soroti adalah dampak negatif terhadap sektor minyak dan gas (migas).
Salah satu "penyakit" ekonomi yang disebut Bahlil adalah Undang-Undang (UU) Migas hasil rekomendasi IMF. UU tersebut dianggap telah melemahkan posisi Pertamina dan berdampak signifikan terhadap penurunan lifting minyak nasional. Pada era 1996-1997, lifting minyak Indonesia mencapai 1,5-1,6 juta barel per hari, berkontribusi hingga 40 persen terhadap pendapatan negara. Namun, saat ini lifting minyak hanya sekitar 600 ribu barel per hari, sementara konsumsi dalam negeri mencapai 1,5-1,6 juta barel per hari. Akibatnya, Indonesia yang dulunya pengekspor minyak, kini terpaksa mengimpor hingga 1 juta barel per hari.
Setelah menjabat sebagai Menteri ESDM selama 5 bulan terakhir, Bahlil mengungkapkan temuannya bahwa dari 40 ribu sumur minyak di Indonesia, hanya 16 ribu yang aktif. Sebagian besar lifting minyak berasal dari Pertamina (60-65 persen) dan Exxon Mobil (25 persen). Kondisi ini disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk kurangnya investasi dan teknologi di sumur-sumur minyak yang sudah tua.
Strategi Pemerintah Atasi Anjloknya Lifting Minyak
Menanggapi permasalahan ini, Bahlil menawarkan tiga strategi utama. Pertama, mengaktifkan kembali sumur-sumur minyak yang tidak aktif (idle) dengan mengambil alihnya dan menawarkannya kepada pengusaha lain. Saat ini, pemerintah telah mengambil alih sekitar 6.000 sumur minyak. Kedua, meningkatkan penggunaan teknologi baru seperti Enhanced Oil Recovery (EOR) untuk meningkatkan produksi minyak dari sumur-sumur tua. Dengan strategi ini, diharapkan lifting minyak dapat mencapai di atas 900 ribu barel per hari pada tahun 2028-2029.
Ketiga, sumur-sumur minyak yang telah selesai eksplorasi dan memiliki Plan of Development (PoD) harus segera diproduksi. Bahlil menegaskan, "Kalau pemegang wilayah kerjanya nggak mau kerjakan, negara ambil. Supaya apa? Pengusaha jangan mengatur negara. Negara yang mengatur pengusaha, tapi negara nggak boleh sewenang-wenang kepada pengusaha. Jadi, kita saling membutuhkan. Jadi, negara butuh pengusaha, pengusaha butuh negara," tegasnya.
Pemerintah berupaya keras untuk mengatasi permasalahan ini. Langkah-langkah yang diambil meliputi:
- Pengambilalihan sumur minyak idle oleh negara.
- Pemanfaatan teknologi Enhanced Oil Recovery (EOR).
- Percepatan produksi sumur minyak yang telah memiliki Plan of Development (PoD).
Dengan strategi ini, pemerintah optimis dapat meningkatkan lifting minyak dan mengurangi ketergantungan impor. Hal ini diharapkan dapat memperbaiki kondisi ekonomi Indonesia dan mengurangi dampak negatif dari kebijakan IMF di masa lalu.
Langkah-langkah konkret yang diambil pemerintah menunjukkan komitmen untuk meningkatkan produksi minyak dalam negeri. Harapannya, Indonesia dapat kembali menjadi pengekspor minyak dan mengurangi beban impor yang selama ini membebani perekonomian.