Banggar DPR: Nota Keuangan RAPBN 2026 Moderat dan Realistis, Angka Defisit Turun Drastis!
Badan Anggaran DPR menilai Nota Keuangan RAPBN 2026 yang diajukan pemerintah sangat moderat dan realistis, dengan target defisit yang lebih rendah. Simak detailnya!

Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (Banggar DPR) memberikan penilaian positif terhadap Nota Keuangan Rancangan Anggaran dan Belanja Negara (RAPBN) 2026. Dokumen penting ini disampaikan oleh Presiden Prabowo Subianto kepada DPR pada tanggal 15 Agustus. Banggar DPR menganggap target yang tercantum dalam nota tersebut cukup moderat dan realistis.
Penilaian ini disampaikan oleh Ketua Banggar DPR, Said Abdullah, dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta pada hari Sabtu. Said Abdullah menyoroti sejumlah angka indikator asumsi ekonomi makro tahun 2026 sebagai dasar penilaian tersebut. Hal ini menunjukkan adanya keselarasan pandangan antara pemerintah dan legislatif terkait proyeksi ekonomi ke depan.
Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,4 persen dan inflasi di level 2,5 persen dalam RAPBN 2026. Selain itu, imbal hasil Surat Utang Negara (SUN) 10 tahun diproyeksikan 6,9 persen, serta kurs rupiah dijaga pada Rp16.500 per dolar AS. Target harga minyak mentah Indonesia ditetapkan 70 dolar AS per barel, dengan lifting minyak mentah 610 ribu barel per hari (RBPH) dan lifting gas bumi 984 ribu barel setara minyak bumi per hari (RBSMPH).
Indikator Makro Ekonomi dan Proyeksi Moderat
Said Abdullah menjelaskan bahwa usulan angka-angka ekonomi makro ini mencerminkan pilihan pemerintah untuk mengambil jalan moderat. Angka-angka tersebut berada di titik tengah antara batas bawah dan batas atas yang telah disepakati bersama Banggar DPR dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF). Pendekatan ini menunjukkan kehati-hatian dalam menyusun proyeksi di tengah ketidakpastian global.
Pilihan angka moderat tersebut juga mengindikasikan bahwa pemerintah realistis dalam memperhitungkan tantangan ekonomi global dan domestik pada tahun 2026. Tantangan tersebut meliputi dampak pemberlakuan tarif oleh Presiden AS Donald Trump, efek rambatan konflik geopolitik, serta menurunnya daya beli rumah tangga. Selain itu, banyaknya pemberhentian pekerja pada sektor manufaktur juga menjadi perhatian serius yang memengaruhi proyeksi ini.
Postur Anggaran dan Tantangan Fiskal
Dalam rancangan postur APBN 2026, pemerintah memilih batas atas dari pembicaraan awal KEM-PPKF untuk target pendapatan negara, yaitu sebesar Rp3.147,7 triliun. Namun, untuk target belanja negara, pemerintah mengambil angka moderat dari batas bawah dan atas, yakni sebesar Rp3.786,5 triliun. Kombinasi ini berkonsekuensi pada persentase defisit RAPBN 2026 yang lebih rendah dari tahun 2025, yakni sebesar 2,48 persen atau setara Rp638,8 triliun.
Said Abdullah menyampaikan bahwa tingginya target pendapatan negara yang dipilih pemerintah patut didukung, namun pemerintah harus ekstra hati-hati, terutama dalam kebijakan perpajakan. Saat ini, terdapat sensitivitas tinggi di masyarakat, khususnya sentimen negatif atas pengenaan pajak tinggi yang naik signifikan pada Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di banyak pemerintah daerah. Oleh karena itu, pemerintah diharapkan menimbang ulang jika menempuh kebijakan perluasan atau kenaikan tarif perpajakan untuk mengejar target pendapatan.
Pada sisi belanja negara, pemerintah mengambil posisi angka tengah dari pembahasan KEM-PPKF. Langkah ini dinilai mampu menekan defisit APBN di bawah 2,5 persen PDB, sehingga kebutuhan pembiayaan tidak terlalu besar. Meskipun demikian, alokasi belanja pusat tercatat jauh lebih besar dibandingkan transfer ke daerah dan desa, yakni rancangan belanja pusat sebesar Rp3.136,5 triliun, sementara transfer ke daerah dan desa mengecil menjadi Rp650 triliun.
Kecenderungan makin memusatnya anggaran negara ke pusat ini perlu dipertimbangkan ulang oleh pemerintah. Terlebih lagi, kewenangan pemerintah daerah juga semakin mengecil pasca Undang-Undang Cipta Kerja. Situasi ini dikhawatirkan akan melemahkan fiskal daerah, sehingga inisiatif pembangunan di daerah hanya akan bertumpu pada anggaran pusat, berpotensi menghambat pembangunan yang merata.
Saran Kebijakan Pajak dan Optimalisasi Pendapatan
Banggar DPR menyarankan agar pemerintah lebih fokus mengejar wajib pajak nakal yang melakukan penghindaran pajak. Selain itu, pemerintah juga diminta memanfaatkan peluang dari perpajakan global pasca kesepakatan di Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD). Hal ini terutama terkait dengan beroperasinya berbagai layanan perusahaan multinasional pada lintas negara, yang dapat menjadi sumber pendapatan baru.
Pemerintah juga didorong untuk mengoptimalkan pajak karbon sebagai upaya ganda yang sekaligus mendorong transformasi perekonomian nasional menuju lebih ramah lingkungan. Peningkatan investasi pada sektor sumber daya alam (SDA) juga disarankan agar penerimaan negara dari bagi hasil sektor SDA semakin membesar. Langkah-langkah ini diharapkan dapat mendukung target pendapatan negara tanpa membebani masyarakat.