Bertepatan Hari Anti Perdagangan Orang, Laporan TPPO SBMI 2025 Soroti Lemahnya Perlindungan Korban
Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) meluncurkan Laporan TPPO SBMI 2025 yang mengungkap realitas pahit lemahnya sistem peradilan pidana bagi korban perdagangan orang.

Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) meluncurkan laporan TPPO SBMI 2025 di Jakarta pada Rabu, 30 Juli. Peluncuran ini bertepatan dengan Hari Anti Perdagangan Orang Sedunia. Laporan ini mengungkap fakta pahit terkait lemahnya penegakan hukum.
Laporan bertajuk "Suara Korban dan Pendamping dalam Kasus TPPO" ini menyoroti abainya aparat penegak hukum. Ketua Umum SBMI, Hariyanto Suwarno, menegaskan pentingnya momen ini sebagai pengingat. Negara dinilai gagal menghentikan praktik eksploitasi sistemik terhadap buruh migran.
SBMI menekankan bahwa keadilan bagi korban tidak lagi ditemukan dalam ruang hukum. Hal ini mempertaruhkan martabat negara di mata publik. Laporan ini menjadi kritik keras terhadap sistem yang ada.
Realitas Sistem Hukum yang Abai Korban
Laporan TPPO SBMI 2025 secara gamblang menunjukkan ketidakberpihakan sistem hukum Indonesia. Sistem ini bahkan secara aktif melanggengkan kekerasan melalui proses hukum yang tidak sensitif. Korban seringkali terpinggirkan dari hak dasarnya.
Sebanyak 251 pekerja migran terindikasi menjadi korban perdagangan orang pada Catatan Tahunan SBMI 2024. Sejak 2014 hingga 2025, 22 kasus perdagangan orang telah dilaporkan ke kepolisian. Namun, kasus-kasus ini belum menunjukkan progres berarti.
Beberapa kasus bahkan terancam kadaluarsa karena telah berjalan lebih dari satu dekade. Hak restitusi senilai lebih dari Rp5,6 miliar yang diputus pengadilan juga tak kunjung dieksekusi kejaksaan. Ini menunjukkan pengabaian serius terhadap hak korban.
Korban seringkali dipermalukan di ruang sidang oleh majelis hakim. Hakim mempertanyakan alasan pelaporan dan menyudutkan perempuan korban kekerasan. Pertanyaan tak mendasar ini bertentangan dengan prinsip peradilan berbasis korban.
Tantangan Pendamping dan Pengabaian Sistemik
Pendamping korban juga menghadapi berbagai intimidasi dan pengucilan dari proses hukum. Kehadiran mereka sangat vital dalam mendampingi korban yang mengalami trauma eksploitasi. Namun, mereka justru dicurigai dalam upaya mencari keadilan.
Hariyanto Suwarno menyatakan bahwa janji negara hanyalah pengkhianatan bagi korban. Laporan kasus yang dibuat lebih dari sepuluh tahun lalu tidak kunjung selesai. Ini bukan sekadar kelalaian, melainkan pengabaian yang sistemik.
Laporan TPPO SBMI 2025 juga memuat temuan penting dari lima wilayah pengadilan. Wilayah tersebut meliputi Serang, Pemalang, Malang, Indramayu, dan Sukadana. Temuan ini memperkuat argumen tentang lemahnya sistem.