BPS: Dipercaya Dunia Internasional, Metode Penghitungan Kemiskinan Dipertanyakan
Badan Pusat Statistik (BPS) diakui dunia internasional, namun metode penghitungan kemiskinannya berbeda dengan Bank Dunia, menimbulkan perdebatan.

Wakil Ketua Badan Pusat Statistik (BPS), Sonny Harry Budiutomo Harmadi, menyatakan bahwa BPS Indonesia merupakan salah satu Lembaga Statistik Nasional (NSO) yang sangat dipercaya di dunia internasional. Pernyataan ini disampaikan dalam konferensi pers di Jakarta pada Jumat, 2 Mei 2024. Sonny menekankan pentingnya integritas data statistik, "Jadi kita gak bisa ngarang sama angka sama data. Kita diawasi oleh internasional," ujarnya. Ia juga menyinggung beberapa negara yang memanipulasi data, sehingga data statistik mereka tidak diakui.
Kepercayaan internasional terhadap BPS didapat berkat komitmen menghasilkan data berkualitas. BPS, menurut Sonny, "... menyampaikan fakta ya, memotret. Jadi harus memotret apa adanya," menunjukkan dedikasi lembaga ini terhadap akurasi dan obyektivitas data. Namun, kredibilitas BPS ini diuji dengan adanya perbedaan angka kemiskinan antara BPS dan Bank Dunia.
Perbedaan data kemiskinan antara BPS dan Bank Dunia menjadi sorotan. Bank Dunia, menggunakan standar kemiskinan negara berpenghasilan menengah ke atas (upper-middle income country), yaitu 6,85 dolar AS purchasing power parities (PPP) per orang per hari, memperkirakan persentase penduduk miskin Indonesia mencapai 61,8 persen pada tahun 2023, dan diperkirakan sekitar 60 persen pada tahun 2024. Perbedaan ini memicu diskusi lebih lanjut mengenai metodologi penghitungan kemiskinan yang digunakan kedua lembaga.
Metode Penghitungan Kemiskinan BPS vs Bank Dunia
BPS menggunakan pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach) dalam menghitung garis kemiskinan. Metode ini berfokus pada ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan, diukur dari pengeluaran. Garis kemiskinan dihitung sebagai jumlah minimum rupiah yang harus dikeluarkan seseorang untuk memenuhi kebutuhan pokok agar tidak dikategorikan miskin. Ini merupakan penjumlahan Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM).
GKM didasarkan pada 52 komoditas makanan pokok yang dikonsumsi penduduk referensi, setara dengan 2.100 kilo kalori per kapita per hari. GKNM mencakup kebutuhan minimum komoditas non-makanan seperti perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Perhitungan dilakukan terpisah untuk provinsi, daerah perkotaan, dan perdesaan. Penduduk miskin didefinisikan sebagai mereka yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.
Berbeda dengan BPS, Bank Dunia menggunakan estimasi konsumsi yang dikonversi ke dalam US$ PPP, bukan nilai tukar resmi US$. PPP mengukur seberapa banyak rupiah yang dibutuhkan untuk membeli barang dan jasa di Indonesia dibandingkan dengan Amerika Serikat. Bank Dunia menggunakan pendekatan harmonized poverty line, mencocokkan tingkat kemiskinan nasional tahun 2017 (atau tahun terdekat) dengan distribusi konsumsi/penghasilan dalam satuan PPP per kapita.
Proses ini menghasilkan garis kemiskinan nasional yang sudah terstandar PPP untuk setiap negara. Bank Dunia kemudian menghitung nilai median garis kemiskinan nasional dari 37 negara upper-middle income terpilih. Median inilah yang digunakan sebagai garis kemiskinan global. Singkatnya, BPS menggunakan pengeluaran konsumsi riil masyarakat, sementara Bank Dunia menggunakan pendekatan global untuk perbandingan antar negara. Hal ini sejalan dengan pernyataan Bank Dunia bahwa garis kemiskinan nasional bersifat unik dan menjadi tanggung jawab NSO masing-masing negara.
Penjelasan Lebih Lanjut Mengenai Perbedaan Metodologi
Perbedaan metodologi ini penting dipahami. BPS, sebagai NSO Indonesia, bertanggung jawab atas penghitungan garis kemiskinan nasional yang mencerminkan kondisi riil di Indonesia. Sementara Bank Dunia menggunakan pendekatan yang terstandarisasi untuk membandingkan tingkat kemiskinan antar negara. Kedua metode ini memiliki tujuan dan konteks yang berbeda, sehingga perbandingan langsung angka kemiskinan dari kedua lembaga perlu dilakukan dengan kehati-hatian.
Data BPS memberikan gambaran akurat tentang kemiskinan di Indonesia berdasarkan konteks domestik. Sedangkan data Bank Dunia memberikan perspektif global, memungkinkan perbandingan dengan negara lain. Penting untuk memahami perbedaan metodologi ini agar interpretasi data lebih tepat dan tidak menimbulkan kesalahpahaman.
Dengan demikian, perbedaan angka kemiskinan antara BPS dan Bank Dunia bukan berarti salah satu lembaga salah. Perbedaan ini mencerminkan perbedaan pendekatan dan tujuan analisis. Transparansi metodologi dari kedua lembaga sangat penting agar publik dapat memahami konteks dan interpretasi data yang tepat.
Ke depan, penting bagi BPS dan Bank Dunia untuk terus meningkatkan komunikasi dan kolaborasi agar perbedaan metodologi ini dapat dipahami dengan baik oleh publik. Hal ini akan membantu mencegah kesalahpahaman dan memastikan penggunaan data statistik yang akurat dan bertanggung jawab.