China Tetap Fokus Transisi Hijau Meski AS Mundur dari Perjanjian Paris
Terlepas dari keputusan AS untuk keluar dari Perjanjian Paris, China menegaskan komitmennya pada transisi hijau dan terus berinvestasi besar-besaran dalam energi terbarukan, bahkan membangun rantai industri energi baru terbesar di dunia.
Keputusan AS untuk meninggalkan Perjanjian Iklim Paris tak menyurutkan langkah China dalam pengembangan energi terbarukan. Pada konferensi pers Kamis (23/1) di Beijing, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Mao Ning, menyatakan bahwa komitmen China terhadap transisi hijau tetap teguh, terlepas dari perkembangan di kancah internasional. Hal ini disampaikan menyusul pengumuman resmi AS pada Selasa (21/1) untuk menarik diri dari perjanjian tersebut.
Mengapa China tetap konsisten? Menurut Mao Ning, perubahan iklim adalah tantangan global yang tak bisa diabaikan oleh negara mana pun. China melihat transisi hijau sebagai solusi fundamental untuk permasalahan ini. Pernyataan ini menekankan posisi China yang memandang isu lingkungan sebagai tanggung jawab bersama, bukan hanya tanggung jawab negara-negara tertentu.
Bagaimana China mewujudkan komitmennya? China telah mengambil langkah konkret dengan mempercepat transisi menuju energi rendah karbon. Targetnya adalah mencapai puncak emisi karbon dioksida sebelum 2030 dan mencapai netralitas karbon sebelum 2060. Langkah ini diperkuat dengan pembangunan rantai industri energi baru terbesar dan terlengkap di dunia. Lebih dari 70 persen komponen fotovoltaik (panel surya) dan 60 persen peralatan tenaga angin global berasal dari China.
Investasi Besar di Sektor Energi Terbarukan. Bukti nyata komitmen China terlihat dari investasi masif dalam infrastruktur energi. Dalam 10 tahun terakhir, investasi kumulatif mencapai sekitar 39 triliun yuan (rata-rata hampir 4 triliun yuan per tahun). Investasi ini mencakup pengembangan teknologi energi baru, PLTA, PLTN, transmisi daya, dan penyimpanan energi. China bahkan mengklaim bahwa pembangkit listrik energi baru yang terpasang di negara tersebut menyumbang sekitar 40 persen dari total kapasitas terpasang di dunia.
Capaian China di Sektor Energi Terbarukan. Hingga akhir Juli 2024, kapasitas terpasang pembangkit listrik non-fosil di China telah mencapai lebih dari 1,68 miliar kilowatt (kw), sekitar 58,2 persen dari total kapasitas pembangkit listrik nasional. Rinciannya meliputi 471 juta kw dari tenaga angin, 735 juta kw dari tenaga surya, dan sisanya dari biomassa, nuklir, dan sumber lainnya. Pembangkit listrik energi terbarukan ini telah menghasilkan 2,2 triliun kw/jam listrik, mengurangi emisi karbon dioksida sekitar 2 miliar ton.
Kebijakan NDC China. Sejak 2016, melalui Nationally Determined Contributions (NDC) yang diperbarui terakhir kali pada 28 Oktober 2021, China menargetkan pengurangan emisi karbon sebesar 60-65 persen pada 2030. Pengurangan penggunaan batubara akan dilakukan secara bertahap mulai 2026, sementara kapasitas listrik bersih dari tenaga surya dan angin ditargetkan mencapai 1,2 miliar kw pada 2030. Puncak ambisi China adalah dekarbonisasi pada 2060.
Kesimpulan. Sikap China yang tetap fokus pada transisi hijau, meskipun AS menarik diri dari Perjanjian Paris, menunjukkan komitmen kuat negara tersebut dalam mengatasi perubahan iklim. Investasi besar-besaran dan capaian signifikan di sektor energi terbarukan menjadi bukti nyata langkah nyata yang telah dan terus dilakukan oleh China.