BRICS: Potensi Sumber Dana Transisi Energi Indonesia
Keanggotaan Indonesia di BRICS membuka peluang akses pendanaan transisi energi, terutama jika mempertimbangkan mundurnya AS dari Perjanjian Paris dan potensi kerja sama dengan China.
Direktur Eksekutif Yayasan Indonesia CERAH, Agung Budiono, melihat potensi besar keanggotaan Indonesia dalam blok ekonomi BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan) sebagai sumber pendanaan transisi energi. Pernyataan ini muncul sebagai respons atas penarikan AS dari Perjanjian Paris, yang berdampak pada program pendanaan seperti Just Energy Transition Partnership (JETP).
Program JETP, yang sebelumnya mengandalkan dukungan negara maju seperti AS dan Jepang, kini menghadapi ketidakpastian akibat keputusan AS. Hal ini berpotensi menunda atau bahkan mengurangi aliran dana untuk transisi energi di Indonesia. Oleh karena itu, BRICS menawarkan alternatif sumber pendanaan yang signifikan.
Agung menekankan potensi peran China sebagai pemimpin hijau ('green leader') dalam mendukung transisi energi Indonesia. Ia mencontohkan Green Belt and Road Initiative sebagai program yang dapat dimaksimalkan untuk merealisasikan tujuan ini. China, menurut Agung, mampu menyediakan pendanaan untuk pengembangan energi terbarukan, sejalan dengan target Indonesia untuk membangun 75 GW energi terbarukan dalam 15 tahun mendatang, seperti yang disampaikan Presiden Prabowo Subianto di KTT G20.
Meskipun demikian, Agung juga mengakui tantangan yang ada. China, di satu sisi, masih gencar menggunakan energi fosil, misalnya dalam pembangunan pembangkit listrik tenaga fosil untuk beberapa smelter nikel. Oleh karena itu, keberhasilan mendapatkan pendanaan dari China sangat bergantung pada kekuatan diplomasi iklim Indonesia dalam meminta dukungan pendanaan yang lebih konkret.
Mundurnya AS dari Perjanjian Paris pada 2015, yang bertujuan membatasi kenaikan suhu global hingga jauh di bawah 2 derajat Celcius, telah menciptakan celah pendanaan yang signifikan. Perjanjian tersebut, yang diadopsi oleh 195 anggota Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim, kini kehilangan salah satu pendukung utamanya.
Dengan demikian, eksplorasi alternatif pendanaan transisi energi menjadi sangat krusial bagi Indonesia. BRICS, khususnya China, tampak sebagai salah satu alternatif yang menjanjikan, namun membutuhkan strategi diplomasi yang kuat untuk merealisasikan potensi tersebut.
Kesimpulannya, Indonesia perlu memanfaatkan peluang yang ditawarkan keanggotaan BRICS untuk mengatasi tantangan pendanaan transisi energi. Kerja sama strategis dengan negara-negara BRICS, terutama China, menjadi kunci keberhasilan upaya transisi energi Indonesia yang berkelanjutan. Namun, diperlukan strategi diplomasi yang efektif untuk memastikan komitmen dan dukungan nyata dari negara-negara tersebut.