Indonesia Cari Alternatif Dana Transisi Energi Pasca Penarikan AS dari Perjanjian Paris
Mundurnya AS dari Perjanjian Paris mendorong Indonesia mencari alternatif pendanaan transisi energi, termasuk dari APBN, investasi asing, dan lembaga keuangan internasional, guna tetap mencapai target emisi nol bersih.

Keputusan Amerika Serikat (AS) untuk menarik diri dari Perjanjian Paris 2016 menimbulkan tantangan bagi Indonesia dalam pendanaan transisi energi. Hal ini disampaikan oleh Ahmad Heri Firdaus, peneliti Center of Industry, Trade, and Investment Indef, pada Rabu, 22 Januari 2024. Ia menekankan pentingnya Indonesia segera mencari alternatif pendanaan untuk tetap melanjutkan komitmennya terhadap perubahan iklim.
Menurut Ahmad, penarikan AS dari perjanjian tersebut berpotensi menghambat pendanaan internasional untuk negara berkembang seperti Indonesia. Oleh karena itu, diversifikasi sumber pendanaan menjadi sangat krusial. Beberapa alternatif yang diusulkan termasuk memanfaatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), menjalin kerja sama investasi dengan negara lain, memanfaatkan peluang kerja sama business to business (B2B), dan mengeksplorasi pendanaan dari lembaga keuangan internasional.
Presiden AS Donald Trump secara resmi menandatangani perintah eksekutif penarikan diri AS dari Perjanjian Paris pada Senin, 20 Januari 2024. Keputusan ini dinilai akan mengubah lanskap global dalam upaya mencapai emisi nol bersih (net zero emission/NZE) di masa mendatang. Ahmad khawatir langkah AS tersebut dapat mengurangi kesadaran negara lain untuk melaksanakan komitmen Perjanjian Paris.
Meskipun demikian, Indonesia tetap berkomitmen pada target transisi energi dan mitigasi perubahan iklim. Komitmen ini ditegaskan oleh Hashim Djojohadikusumo, Utusan Khusus Presiden untuk Konferensi Perubahan Iklim COP29 UNFCCC pada November 2024, di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Pemerintah telah menyiapkan berbagai program untuk mendukung hal ini.
Salah satu program andalan pemerintah adalah pengembangan energi sebesar 100 Gigaton (GT), dengan target 75 GT berasal dari energi baru dan terbarukan (EBT). Sumber EBT yang dikembangkan meliputi tenaga bayu, air, panas bumi, surya, dan nuklir. Selain itu, program mitigasi perubahan iklim juga mencakup pemanfaatan teknologi carbon capture and storage (CCS) dan rehabilitasi 12,7 juta hektare hutan untuk ketahanan pangan.
Secara keseluruhan, keputusan AS untuk keluar dari Perjanjian Paris telah menciptakan tantangan baru bagi Indonesia dalam mencapai target transisi energi. Namun, dengan strategi diversifikasi pendanaan dan komitmen pemerintah yang kuat, Indonesia diharapkan dapat tetap melanjutkan upaya mitigasi perubahan iklim dan mencapai target emisi nol bersih.
Ke depannya, penting bagi Indonesia untuk memperkuat diplomasi internasional untuk mengamankan pendanaan transisi energi dan menjalin kemitraan strategis dengan negara-negara yang berkomitmen terhadap Perjanjian Paris. Transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana juga menjadi kunci keberhasilan program ini.