Wakil Ketua MPR Dorong Mahasiswa Pelajari Transisi Energi dari China
Wakil Ketua MPR RI, Eddy Soeparno, mendorong mahasiswa Indonesia belajar transisi energi dari China untuk mengatasi ketergantungan Indonesia pada energi fosil dan mencapai target EBT.

Wakil Ketua MPR RI, Eddy Soeparno, baru-baru ini mengunjungi China untuk mempelajari strategi transisi energi negara tersebut. Kunjungan yang berlangsung dari tanggal 13 hingga 17 April 2025 ini, mencakup kunjungan ke Beijing dan Shenzhen, dilakukan atas undangan pemerintah China. Tujuan utama kunjungan tersebut adalah untuk membahas transisi energi dan pemanfaatan energi terbarukan, khususnya mengingat masih tingginya ketergantungan Indonesia pada energi fosil.
Selama kunjungannya, Eddy Soeparno bertemu dengan sekitar 50 pelajar dan Warga Negara Indonesia (WNI) di KBRI Beijing. Dalam pertemuan tersebut, ia menekankan pentingnya bagi mahasiswa Indonesia untuk mempelajari pengalaman China dalam transisi energi. China, menurut Eddy, telah berhasil mengurangi ketergantungan pada energi fosil seperti batu bara dan meningkatkan penggunaan energi terbarukan hingga mencapai 50 persen.
Eddy Soeparno menyoroti lambannya perkembangan pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia. Ia menuturkan, "Indonesia has the largest renewable energy resource in Asia", sebuah pernyataan yang telah ia dengar berulang kali selama 20 tahun terakhir dalam berbagai konferensi. Namun, kenyataannya, Indonesia masih tertinggal dalam pemanfaatan potensi energi terbarukan yang dimilikinya.
Memahami Keberhasilan Transisi Energi China
Eddy Soeparno menjelaskan bahwa di China, mahasiswa Indonesia dapat mempelajari tidak hanya teknologi transisi energi, tetapi juga perubahan pola pikir dan etos kerja masyarakat China. Ia mengagumi etos kerja, komitmen, dan kerajinan tinggi masyarakat China dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Hal ini, menurutnya, perlu diadopsi oleh Indonesia untuk mencapai target transisi energi.
Indonesia, menurut Eddy, masih sangat bergantung pada bahan bakar fosil untuk listrik, transportasi, bahkan di kota-kota kecil masih banyak yang menggunakan minyak tanah untuk memasak. Kondisi ini berkontribusi pada buruknya kualitas udara di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Semarang, yang berdampak pada kesehatan masyarakat.
Lebih lanjut, Eddy juga menekankan pentingnya belajar dari keberhasilan China dalam mengurangi emisi karbon dan meningkatkan kualitas udara. Dengan mempelajari strategi dan kebijakan yang diterapkan China, Indonesia diharapkan dapat menerapkannya secara efektif untuk mencapai tujuan yang sama.
Kendala Pendanaan dan Payung Hukum
Salah satu kendala utama dalam transisi energi di Indonesia adalah pendanaan. Pemerintah Indonesia, menurut Eddy, masih terkendala dana untuk memensiunkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara. Rencana penutupan PLTU Ratu dan PLTU Cirebon, misalnya, terhambat oleh besarnya denda yang harus dibayar, mencapai Rp25 triliun.
Meskipun demikian, Eddy mengungkapkan bahwa sejumlah filantropi telah menyatakan kesediaannya untuk membiayai penutupan PLTU tersebut. Namun, hambatannya terletak pada belum adanya payung hukum yang jelas untuk mendukung proses tersebut. Saat ini, upaya untuk menciptakan payung hukum tersebut sedang dilakukan.
Eddy Soeparno juga menyampaikan pengalamannya sebagai pembicara di Konferensi PBB soal perubahan iklim COP-29 di Azerbaijan, di mana ia bertemu dengan beberapa filantropi yang bersedia membantu pendanaan transisi energi di Indonesia. Namun, tanpa payung hukum yang memadai, dana tersebut sulit untuk diakses dan digunakan secara efektif.
Potensi dan Tantangan Energi Terbarukan di Indonesia
Kementerian ESDM melaporkan bahwa bauran energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia hingga akhir 2024 baru mencapai 14 persen, jauh dari target pemerintah sebesar 23 persen pada 2025. Pemanfaatan EBT di Indonesia masih sangat terbatas, hanya sekitar 0,38 persen dari total potensi EBT sebesar 3,6 terawatt (TW).
Untuk mencapai target peningkatan kapasitas bauran EBT sebesar 8,2 Giga Watt (GW) pada 2025, Indonesia membutuhkan investasi hingga 14,2 miliar dolar AS atau setara Rp219,9 triliun. Potensi EBT di Indonesia sangat besar, meliputi energi surya (3.294 GW), energi angin (155 GW), energi air (95 GW), energi arus laut (63 GW), Bahan bakar Nabati (BBN) (57 GW), dan energi panas bumi (23 GW).
Kesimpulannya, Indonesia perlu mengambil langkah-langkah konkrit dan komprehensif untuk mempercepat transisi energi. Belajar dari pengalaman China, memperkuat regulasi, dan mencari solusi pendanaan yang tepat merupakan kunci keberhasilan dalam mencapai target bauran energi terbarukan dan mengurangi ketergantungan pada energi fosil.