Kerja Sama RI-China: Target Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 8 Persen?
Wakil Ketua MPR RI, Eddy Soeparno, mengungkapkan upaya peningkatan kerja sama dengan China untuk membantu Indonesia mencapai target pertumbuhan ekonomi 8 persen pada 2029, termasuk transfer teknologi dan pengembangan ekonomi karbon.

Wakil Ketua MPR RI, Eddy Soeparno, baru-baru ini melakukan kunjungan kerja ke China untuk membahas peningkatan kerja sama bilateral guna mendukung target ambisius Indonesia, yaitu pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen pada tahun 2029. Kunjungan tersebut berlangsung pada 13-17 April 2025, mencakup kunjungan ke Beijing dan Shenzhen. Selama kunjungannya, Eddy Soeparno bertemu dengan sejumlah pejabat tinggi pemerintah China, termasuk Ketua Komite Tetap Majelis Permusyawaratan Politik Rakyat China (CPPCC) Wang Huning dan Wakil Menteri Lingkungan dan Ekologi China Guo Fang. Pembahasan difokuskan pada bagaimana pengalaman China dalam mencapai pertumbuhan ekonomi tinggi dapat diadopsi oleh Indonesia, serta kerja sama di bidang teknologi, energi, dan ekonomi karbon.
Dalam pertemuan tersebut, Eddy Soeparno menekankan target pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 8 persen yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029. Ia melihat China sebagai contoh negara di Asia yang berhasil mencapai pertumbuhan ekonomi tinggi, bahkan hingga 10 persen dalam beberapa tahun berturut-turut. Oleh karena itu, Indonesia ingin belajar dari pengalaman dan keahlian China dalam berbagai sektor, khususnya teknologi dan energi terbarukan.
Kunjungan ini juga bertujuan untuk memperkuat kerja sama ekonomi, perdagangan, dan investasi antara kedua negara. Eddy Soeparno menyadari pentingnya peran teknologi dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di era modern, dan China dinilai sebagai negara yang sangat maju dalam hal teknologi. Oleh karena itu, peningkatan kerja sama di bidang ini dianggap krusial bagi pencapaian target pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Penguatan Kerja Sama di Sektor Energi dan Lingkungan
Salah satu fokus utama kunjungan Eddy Soeparno ke China adalah membahas kerja sama di sektor energi dan lingkungan. Ia diundang oleh pemerintah China untuk membahas kebijakan energi, transisi energi, dan pengembangan energi terbarukan. Wakil Menteri Ekologi China memaparkan pengalaman China dalam memperbaiki kualitas udara, mengurangi polusi, dan beralih dari pembangkit listrik tenaga uap batubara (PLTU) ke energi terbarukan. China berhasil mengurangi penggunaan PLTU batubara dari 67 persen menjadi 53 persen hanya dalam waktu 10 tahun, dan saat ini rasio pemanfaatan pembangkit listrik energi fosil dan non-fosil telah mencapai 50-50.
Indonesia dapat belajar dari keberhasilan China dalam transisi energi ini. Eddy Soeparno juga membahas masalah kemandirian energi dan transisi energi dengan Majelis Permusyawaratan Politik Rakyat China (CPPCC). China menawarkan bantuan teknologi dan pengetahuan untuk membantu Indonesia dalam proses transisi energi, mengingat kemajuan teknologi China di bidang energi terbarukan. China juga menyatakan penghormatan terhadap posisi Indonesia dalam hubungan internasional, meskipun memiliki posisi sendiri dalam perdagangan internasional.
Hasil kunjungan kerja ini akan disampaikan kepada mitra-mitra di DPR, Kementerian Lingkungan Hidup, dan Otorita Ibu Kota Nusantara (IKN). Pengalaman China dalam pengembangan kota ramah lingkungan, seperti yang terlihat dalam kunjungan ke Beijing Municipal Centre, akan dibagikan kepada Otorita IKN sebagai masukan. Sementara itu, kiat-kiat kesuksesan China dalam pengelolaan lingkungan akan dibagikan kepada Kementerian Lingkungan Hidup.
Potensi Ekonomi Karbon di Indonesia
Selain sektor energi, Eddy Soeparno juga membahas potensi pengembangan ekonomi karbon di Indonesia. Ia melihat ekonomi karbon sebagai peluang besar bagi Indonesia, dan China sebagai negara yang telah cukup maju dalam pengembangannya. Potensi ekonomi karbon Indonesia dapat berasal dari solusi berbasis alam, seperti hutan, mangrove, dan lahan gambut, serta dari perdagangan karbon ('carbon trading').
Namun, pemanfaatan 'carbon trading' di Indonesia masih rendah. Oleh karena itu, Indonesia perlu belajar dari negara-negara yang telah lebih dulu menerapkan kebijakan dan regulasi terkait pajak karbon. Indonesia memiliki potensi besar dalam 'carbon capture storage', bahkan mungkin terbesar di Asia. Ekonomi karbon dianggap sebagai salah satu potensi ekonomi yang dapat mendatangkan pendapatan negara yang besar di masa depan.
Indonesia telah memiliki landasan hukum perdagangan karbon berdasarkan UU No 4 tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK), dan Bursa Karbon Indonesia (IDXCarbon) telah diresmikan pada 20 Januari 2025. Namun, hingga akhir 2024, baru terdapat 100 partisipan yang terdaftar sebagai Pengguna Jasa Bursa Karbon. Pemerintah diharapkan dapat mendorong partisipasi yang lebih luas untuk mendukung target iklim Indonesia yang tertuang dalam Nationally Determined Contribution (NDC).
Kesimpulannya, kunjungan kerja Wakil Ketua MPR RI ke China bertujuan untuk memperkuat kerja sama bilateral guna mencapai target pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 8 persen pada tahun 2029. Kerja sama difokuskan pada berbagai sektor, termasuk teknologi, energi terbarukan, dan ekonomi karbon. Pengalaman dan teknologi China diharapkan dapat membantu Indonesia dalam mencapai target tersebut.