Degradasi Hutan Ancam Air Bersih Perkotaan: Jakarta dalam Bahaya?
Banjir dan krisis air bersih di Jabodetabek akibat degradasi hutan di hulu; solusi jangka panjang dibutuhkan untuk melindungi sumber daya air perkotaan.

Banjir yang melanda beberapa wilayah Jabodetabek awal Maret 2025 menyoroti isu krusial: degradasi hutan dan pengelolaan air bersih perkotaan. Alih fungsi lahan di hulu, yang menggantikan hutan penyangga air dengan permukiman, mempercepat limpasan air dan meningkatkan risiko banjir di hilir. Peringatan Hari Hutan Sedunia 2025 dengan tema 'Hutan dan Pangan' pun menggarisbawahi ancaman terhadap pasokan air bersih akibat hilangnya hutan.
Kota-kota besar, termasuk Jakarta, semakin rentan terhadap krisis air. Musim hujan mengakibatkan banjir, sementara musim kemarau menyebabkan krisis air bersih karena menyusutnya sumber daya air. Riset Ian R. Calder, "Forests and Water—Ensuring Forest Benefits Outweigh Water Costs", menekankan kurangnya perhatian terhadap dampak deforestasi terhadap sumber daya air. Keuntungan ekonomi jangka pendek dari pembabatan hutan jauh lebih kecil daripada biaya ekologis jangka panjang yang harus ditanggung masyarakat.
Konversi lahan tanpa perencanaan matang mengganggu keseimbangan hidrologi, meningkatkan erosi, dan memperparah kelangkaan air, terutama di perkotaan. Jakarta, sebagai kota terpadat di Indonesia dengan pertumbuhan penduduk yang pesat, menghadapi masalah besar dalam penyediaan air bersih. Urbanisasi yang terus meningkat di Indonesia dan dunia semakin memperparah tantangan ini, meningkatkan permintaan air sementara ketersediaannya terus menurun.
Degradasi Hutan dan Krisis Air Bersih di Jakarta
Sebagai contoh, pada tahun 2015, PAM Jaya memperkirakan kebutuhan air bersih Jakarta mencapai 26.100 liter/detik untuk memenuhi standar 49,6 liter/detik/kapita. Hilangnya hutan di hulu mengurangi pasokan air ke sungai dan waduk, sumber utama air baku. Studi Núñez, dkk. (2006), "Forests and Water: The Value of Native Temperate Forests in Supplying Water for Human Consumption", menegaskan nilai ekonomi hutan dalam menjaga suplai air minum.
Di Jakarta, PAM Jaya telah berupaya meningkatkan akses air bersih dengan memperluas cakupan layanan air perpipaan hingga 70,29 persen pada 2024 dan memasang 46 ribu sambungan baru. Upaya ini penting untuk mengurangi ketergantungan pada air tanah yang menyebabkan penurunan muka tanah. Namun, solusi di hilir tidak cukup tanpa perlindungan hutan di hulu.
Konservasi hutan harus menjadi bagian dari strategi jangka panjang. Banyak kota besar di dunia telah menerapkan pendekatan berbasis alam, seperti restorasi hutan dan integrasi sistem hijau-biru dalam perencanaan kota. Hari Hutan Sedunia harus menjadi momentum untuk merefleksikan hubungan antara hutan dan air, serta bagaimana kebijakan lingkungan berkontribusi pada kelangsungan hidup perkotaan.
Solusi Jangka Panjang: Integrasi Pengelolaan Hutan dan Air
Krisis air dan banjir adalah dua sisi mata uang yang sama. Kebijakan perlindungan hutan dan pengelolaan air harus berjalan beriringan untuk solusi jangka panjang. Ketersediaan air bersih akan menjadi tantangan besar bagi kota-kota di masa depan. Keputusan saat ini menentukan kemampuan kota-kota Indonesia untuk bertahan menghadapi perubahan iklim dan tekanan populasi.
Seperti yang dikatakan John Kenneth Galbraith, kualitas hidup di kota menentukan kualitas hidup masyarakat. Untuk kota-kota di Indonesia, kualitas itu tidak bisa dipisahkan dari pengelolaan sumber daya airnya. Oleh karena itu, perlindungan hutan dan pengelolaan air harus menjadi prioritas utama untuk memastikan keberlanjutan kehidupan perkotaan.
Ismail Khozen adalah Manajer Pratama Institute for Fiscal Policy and Governance Studies (Pratama Indomitra) dan Dosen Departemen Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia