Delapan Guru Yahukimo Mengungsi ke Wamena Akibat Ancaman KKB
Delapan guru dari Yahukimo mengungsi ke Wamena, Papua Pegunungan, akibat ancaman kelompok kriminal bersenjata (KKB), meninggalkan sekolah dan tempat tinggal mereka dengan biaya sendiri.

Wamena, 23 Maret 2024 - Delapan guru dari Kabupaten Yahukimo, Provinsi Papua Pegunungan, terpaksa mengungsi ke Wamena, Kabupaten Jayawijaya, sejak Sabtu (22/3) lalu. Ketakutan akan serangan kelompok kriminal bersenjata (KKB) memaksa mereka meninggalkan tempat mengajar dan rumah mereka. Kejadian ini terjadi setelah insiden penyerangan di Distrik Anggruk yang menewaskan beberapa guru dan tenaga kesehatan serta mengakibatkan pembakaran gedung.
Para guru yang mengungsi berasal dari Distrik Kurima dan Hitugi. Mereka adalah Femri Faofeto (Soe), Stefanus Taa (Nagekeo), Sonya Kresensia (Manggarai), Deviani (Sumba), Saktiar Situmorang (Batak), Ening Pakpahan (Batak), Feri Abindondifu (Biak), dan Agustinus Jefrianus Kopon Tokan (Adonara). Kepolisian Resor Jayawijaya membenarkan peristiwa ini, menyatakan para guru dalam kondisi baik dan sementara menginap di Hotel Rannu Jaya Satu Wamena.
Jarak yang jauh antara Distrik Kurima dan Hitugi dengan Distrik Anggruk, lokasi insiden penyerangan, tidak menjamin keamanan mereka. Ancaman KKB yang masih membayangi membuat para guru merasa perlu menyelamatkan diri. Keputusan untuk mengungsi diambil setelah mereka mendengar kabar penyerangan tersebut, memicu kepanikan dan rasa takut akan keselamatan mereka.
Guru Ungkap Kisah Mengungsi
Menurut keterangan Stefanus Taa, salah seorang guru yang mengungsi dari Distrik Kurima, ia bersama tiga rekannya memutuskan untuk pergi ke Wamena setelah mendengar kabar penyerangan. "Kami panik sehingga meminta izin sama kepala sekolah tempat mengajar dan langsung menggunakan mobil ke Wamena. Sampai di sini sekitar pukul 15.30 WIT dengan membayar Rp650.000," ujarnya. Mereka mengaku membayar biaya perjalanan dari kantong pribadi.
Agustinus Jefrianus Kopon Tokan, guru dari Distrik Hitugi, menceritakan pengalaman serupa. "Dari Hitugi sampai di Wamena agak malam dan kendaraan yang kami gunakan kami bayar Rp250.000," katanya. Perjalanan yang panjang dan biaya transportasi yang cukup besar menambah beban mereka di tengah situasi yang mencekam.
Kondisi keuangan mereka semakin memprihatinkan karena gaji selama dua bulan belum diterima. "Kami kalau ada pegangan (uang) tidak apa-apa karena sudah dua bulan ini gaji belum masuk sehingga agak bingung mau ke mana lagi," ungkap Stefanus, mengungkapkan kekhawatiran akan masa depan mereka di Wamena.
Stefanus juga mengungkapkan keinginannya untuk kembali ke Kota Jayapura sambil menunggu informasi lebih lanjut dari Yayasan Serafin yang mempekerjakan mereka. "Dari pihak Yayasan (Serafin) yang merekrut kami belum ada informasi apakah kita turun atau tidak. Tetapi kondisi seperti ini kayaknya harus mencari tempat aman untuk berlindung dulu," jelasnya.
Kondisi Para Guru dan Sekolah
Kedelapan guru tersebut mengajar di dua sekolah dasar yang berbeda, yaitu SD YPK Polimo Kurima dan SD Inpres Hitugi. Mereka meninggalkan sekolah dan murid-murid mereka dalam keadaan darurat, berharap situasi keamanan segera membaik.
Kapolres Jayawijaya, AKBP Heri Wibowo, memastikan bahwa para guru yang mengungsi berada dalam kondisi baik dan mendapatkan tempat tinggal sementara di hotel. Namun, ketidakpastian masa depan dan kesulitan finansial masih menjadi beban berat bagi mereka.
Kejadian ini menyoroti kembali tantangan yang dihadapi para pendidik di daerah konflik, khususnya di Papua Pegunungan. Selain ancaman keamanan, mereka juga menghadapi kendala aksesibilitas, infrastruktur, dan kesejahteraan yang belum memadai.
Peristiwa ini juga menjadi pengingat pentingnya pemerintah untuk memperhatikan keselamatan dan kesejahteraan para guru yang bertugas di daerah rawan konflik, serta menyediakan solusi yang komprehensif untuk mengatasi masalah keamanan dan kesejahteraan mereka.