Diplomasi Ekonomi: Strategi Indonesia Hadapi Perang Dagang Global
Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, menyarankan penguatan misi diplomatik Indonesia untuk menemukan pasar ekspor alternatif guna mengurangi dampak perang dagang global, dengan fokus pada riset pasar dan kolaborasi bisnis.
Perang dagang global antara Amerika Serikat, Rusia, dan China mendorong Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara, untuk menyarankan peningkatan peran diplomasi ekonomi Indonesia. Ia menekankan perlunya pencarian pasar ekspor alternatif guna mengurangi dampak negatif konflik tersebut. Pernyataan ini disampaikan Bhima di Jakarta, Kamis, 23 Januari.
Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan pemerintah Indonesia perlu proaktif mencari alternatif pasar ekspor, bukannya hanya terpaku pada dinamika perang dagang antara blok negara-negara besar. Strategi ini dinilai krusial untuk menjaga stabilitas ekonomi nasional.
Salah satu kunci utama yang disoroti Bhima adalah peran penting atase perdagangan dan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di berbagai negara. Mereka harus meningkatkan market intelligence; mengumpulkan dan menganalisis tren pasar serta persaingan di negara penempatannya. Informasi ini sangat vital bagi produsen lokal dalam menyesuaikan produk dengan kebutuhan pasar internasional.
Amerika Latin dan Afrika Utara disebut sebagai kawasan potensial untuk menjadi pasar ekspor alternatif. Namun, kendalanya adalah masih terbatasnya informasi pasar yang sampai ke produsen di Indonesia. Akibatnya, banyak produk Indonesia yang kurang sesuai dengan kebutuhan pasar internasional di kedua kawasan tersebut.
Bhima juga menekankan bahwa perluasan perdagangan bilateral tak cukup hanya mengandalkan pameran dagang (expo). Ia menyarankan perlu adanya upaya untuk mempertemukan calon pembeli (buyer), penyedia jasa logistik, dan lembaga keuangan yang tepat untuk memfasilitasi kerjasama perdagangan yang saling menguntungkan.
Selain itu, penting untuk menargetkan produk atau komoditas spesifik yang dibutuhkan pasar negara tujuan. Strategi ini akan meningkatkan daya saing Indonesia di tengah persaingan dengan negara-negara BRICS lainnya, seperti Brasil dan Afrika Selatan, yang juga merupakan produsen komoditas primer.
Sayangnya, anggaran untuk perjalanan dinas diplomasi dan atase perdagangan justru kerap dipangkas. Padahal, menurut Bhima, hal ini justru sangat dibutuhkan untuk meningkatkan diplomasi bilateral yang lebih efektif dan efisien. Ia menyayangkan pemangkasan anggaran tersebut karena berdampak pada upaya perluasan pasar ekspor Indonesia.
Konflik perdagangan global, seperti ancaman tarif impor dari Amerika Serikat terhadap barang-barang dari China, semakin memperkuat urgensi strategi ini. Ancaman tersebut berpotensi memicu perang dagang yang lebih luas, sehingga pencarian pasar alternatif menjadi semakin penting. Situasi ini juga diwarnai dengan ancaman tarif impor yang tinggi dari AS terhadap negara-negara BRICS, jika mereka mengembangkan mata uang alternatif.
Meskipun Presiden Rusia Vladimir Putin menyatakan pembentukan mata uang BRICS masih terlalu dini, perluasan BRICS yang kini mencakup Indonesia, menunjukkan adanya dinamika geopolitik dan ekonomi global yang perlu diantisipasi. Indonesia perlu mempersiapkan diri menghadapi berbagai skenario dengan memperkuat diplomasi ekonomi dan mencari pasar ekspor alternatif.