Eks Sekretaris MA, Hasbi Hasan, Kembali Diperiksa KPK Terkait Suap Pengurusan Perkara
Mantan Sekretaris Mahkamah Agung, Hasbi Hasan, kembali diperiksa KPK terkait dugaan suap pengurusan perkara dan kasus pencucian uang, setelah sebelumnya divonis 6 tahun penjara.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali memeriksa Hasbi Hasan, mantan Sekretaris Mahkamah Agung, pada Rabu, 19 Februari 2024. Pemeriksaan dilakukan di Gedung KPK Merah Putih terkait penyidikan dugaan suap pengurusan perkara di lingkungan Mahkamah Agung. Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika, membenarkan pemeriksaan tersebut, namun belum memberikan detail materi pemeriksaan yang dilakukan. Pemeriksaan ini menjadi sorotan publik mengingat Hasbi Hasan sebelumnya telah divonis bersalah dan menjalani hukuman penjara.
Selain dugaan suap, KPK juga menetapkan Hasbi Hasan sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Kasus TPPU ini merupakan pengembangan dari kasus dugaan suap yang telah lebih dulu ditangani. Hal ini menunjukkan bahwa penyidik KPK tengah mendalami aliran dana hasil dugaan suap yang diterima Hasbi Hasan.
Kasus ini bermula dari suap yang diterima Hasbi Hasan terkait pengurusan gugatan perkara kepailitan Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Intidana di tingkat kasasi Mahkamah Agung. Proses hukum yang panjang telah dilalui, termasuk putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang menguatkan vonis enam tahun penjara terhadap Hasbi Hasan.
Vonis dan Banding Kasus Suap Hasbi Hasan
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menolak banding yang diajukan oleh jaksa penuntut umum KPK dan penasihat hukum Hasbi Hasan. Meskipun jaksa KPK menuntut hukuman 13 tahun 8 bulan penjara, denda Rp1 miliar, dan uang pengganti Rp3,88 miliar, pengadilan tetap menjatuhkan vonis enam tahun penjara, denda Rp1 miliar subsider enam bulan kurungan, serta uang pengganti Rp3,88 miliar subsider satu tahun penjara kepada Hasbi Hasan. Vonis ini menguatkan bahwa Hasbi Hasan terbukti menerima suap sebesar Rp3 miliar dari Heryanto Tanaka melalui perantara Dadan Tri Yudianto untuk memenangkan gugatan perkara kepailitan KSP Intidana.
Banding yang diajukan jaksa KPK didasari oleh keyakinan bahwa vonis enam tahun penjara terlalu rendah dibandingkan tuntutan yang diajukan. Mereka berpendapat bahwa hukuman yang dijatuhkan tidak sebanding dengan kerugian negara dan tingkat keseriusan kasus korupsi yang dilakukan Hasbi Hasan. Namun, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tetap pada putusan awal, sehingga Hasbi Hasan tetap menjalani hukuman penjara sesuai vonis yang telah dijatuhkan.
Dalam putusan tersebut, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta juga menetapkan agar Hasbi Hasan tetap ditahan. Masa penahanan yang telah dijalaninya dikurangi dari pidana yang dijatuhkan, dan Hasbi Hasan juga dibebankan biaya perkara sebesar Rp2.500 untuk dua tingkat pengadilan.
Detail Kasus Suap dan Peran Pihak Lain
Kasus ini melibatkan beberapa pihak, termasuk Heryanto Tanaka sebagai debitur KSP Intidana dan Dadan Tri Yudianto sebagai perantara. Heryanto Tanaka diketahui menyerahkan uang sejumlah Rp11,2 miliar kepada Dadan Tri Yudianto untuk mengurus gugatan perkara kepailitan perusahaannya. Dari jumlah tersebut, Rp3 miliar mengalir ke Hasbi Hasan sebagai suap untuk memenangkan perkara di Mahkamah Agung.
Peran Dadan Tri Yudianto sebagai perantara menjadi kunci dalam mengungkap aliran dana suap ini. Ia bertindak sebagai penghubung antara Heryanto Tanaka dan Hasbi Hasan. Penyidik KPK kemungkinan akan terus mendalami peran Dadan Tri Yudianto dan kemungkinan keterlibatan pihak lain dalam kasus ini.
Pemeriksaan kembali terhadap Hasbi Hasan oleh KPK menunjukkan komitmen lembaga antirasuah untuk mengusut tuntas kasus ini. Meskipun telah divonis, KPK masih mendalami kemungkinan adanya tindak pidana pencucian uang dan keterlibatan pihak lain yang belum terungkap.
Dengan adanya pemeriksaan lanjutan ini, publik berharap KPK dapat mengungkap seluruh jaringan dan aliran dana dalam kasus suap pengurusan perkara di Mahkamah Agung, serta memberikan efek jera bagi pelaku korupsi di lingkungan peradilan.