Energi Hijau: Lebih Cocok untuk Industri, Kata Menteri Bahlil
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia berpendapat bahwa energi hijau lebih efisien secara ekonomi jika digunakan untuk industri, bukan rumah tangga, karena biaya produksi yang lebih tinggi.

Jakarta, 30 Januari 2024 - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, baru-baru ini menyatakan bahwa pemanfaatan energi hijau atau energi baru terbarukan (EBT) lebih tepat diarahkan pada sektor industri ketimbang konsumsi rumah tangga. Pernyataan ini disampaikan dalam acara "Mengakselerasi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia: Tantangan dan Peluang di Era Baru" di Jakarta.
Menurut Menteri Bahlil, penggunaan energi hijau untuk industri lebih masuk akal karena dapat meningkatkan daya saing produk Indonesia di pasar global. Ia beralasan, meskipun biaya produksi energi hijau lebih tinggi daripada energi fosil, investasi ini akan terbayar dengan terciptanya produk-produk yang kompetitif dan bernilai tambah.
Mengapa energi hijau kurang cocok untuk rumah tangga? Alasan utamanya adalah biaya. Pak Bahlil menekankan potensi pembengkakan biaya jika energi hijau digunakan untuk konsumsi rumah tangga. Hal ini dapat berujung pada kenaikan harga energi yang membebani masyarakat atau meningkatkan beban subsidi pemerintah. Dana subsidi yang besar ini, menurut beliau, dapat dialokasikan ke sektor lain yang juga penting.
Bagaimana dengan transisi energi? Pernyataan ini bukan berarti Indonesia mengabaikan transisi energi. Menteri Bahlil justru menekankan pentingnya pengembangan EBT, namun dengan strategi yang tepat. Ia menyoroti pentingnya efisiensi biaya dalam transisi ini. Memanfaatkan energi hijau untuk industri, menurutnya, adalah pendekatan yang lebih efektif dan berkelanjutan.
Selain itu, Menteri Bahlil juga menyoroti mahalnya biaya konversi pembangkit listrik dari batu bara ke gas. Berdasarkan perhitungannya, penggunaan gas sebagai pengganti batu bara akan meningkatkan biaya hingga triliunan rupiah. Beliau mencontohkan selisih harga yang signifikan antara penggunaan batu bara dan gas dalam rencana penambahan kapasitas pembangkit listrik PLN sebesar 20 gigawatt (GW) hingga 2040.
Kesimpulannya, Menteri Bahlil mendorong penggunaan energi hijau secara strategis, dengan memprioritaskan sektor industri yang dapat menghasilkan produk kompetitif di pasar internasional. Hal ini dilakukan untuk menghindari beban biaya yang tinggi bagi masyarakat dan pemerintah, sembari tetap berkomitmen terhadap transisi energi yang berkelanjutan.