Bahlil Dorong Pengelolaan Batu Bara Bersih: Opsi Energi Murah dan Ramah Lingkungan
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengusulkan pengelolaan batu bara yang lebih bersih sebagai solusi energi murah dan ramah lingkungan, memanfaatkan teknologi CCS untuk mengurangi emisi karbon.
![Bahlil Dorong Pengelolaan Batu Bara Bersih: Opsi Energi Murah dan Ramah Lingkungan](https://cdns.klimg.com/mav-prod-resized/0x0/ori/image_bank/2025/02/11/191557.790-bahlil-dorong-pengelolaan-batu-bara-bersih-opsi-energi-murah-dan-ramah-lingkungan-1.jpeg)
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, baru-baru ini menyoroti potensi pengelolaan batu bara yang lebih bersih sebagai solusi energi murah dan ramah lingkungan. Pernyataan ini disampaikan dalam pidatonya di Mandiri Investment Forum (MIF) 2025 di Jakarta. Bahlil menekankan perlunya perubahan paradigma dalam memandang batu bara, dari sumber energi kotor menjadi sumber energi bersih melalui penerapan teknologi inovatif.
Teknologi CCS: Solusi Ramah Lingkungan
Salah satu teknologi kunci yang diusulkan Bahlil adalah Carbon Capture and Storage (CCS). Teknologi ini bertujuan untuk menangkap dan menyimpan karbon dioksida (CO2) yang dihasilkan dari pembakaran batu bara, sehingga mengurangi emisi gas rumah kaca dan dampak negatif terhadap lingkungan. Dengan demikian, batu bara dapat tetap dimanfaatkan sebagai sumber energi tanpa mengorbankan upaya pelestarian lingkungan.
Bahlil menjelaskan bahwa biaya produksi energi dari batu bara dengan teknologi CCS relatif lebih rendah dibandingkan dengan energi terbarukan lainnya. Ia memperkirakan biaya produksi 1 kWh energi dari batu bara hanya sekitar 5-6 sen dolar AS, sementara energi terbarukan lainnya berkisar antara 9-11 sen dolar AS. Perbedaan biaya ini menjadi pertimbangan penting dalam konteks keterjangkauan energi bagi masyarakat.
Kebangkitan Batu Bara dan Transisi Energi
Bahlil juga menyinggung faktor politik global yang turut mempengaruhi kebangkitan kembali batu bara sebagai sumber energi. Ia mencontohkan keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk menarik diri dari Perjanjian Paris, yang berdampak pada perubahan orientasi industri energi global. Hal ini menunjukkan bahwa batu bara masih memiliki peranan penting dalam lanskap energi dunia, setidaknya untuk masa transisi.
Meskipun demikian, Bahlil tetap menekankan pentingnya pengembangan energi baru dan terbarukan sebagai bagian dari komitmen Indonesia terhadap nol emisi pada tahun 2060. Ia mengusulkan pendekatan yang menyeimbangkan pemanfaatan batu bara dengan energi baru dan terbarukan, tanpa mengorbankan akses masyarakat terhadap energi murah dan terjangkau. Hal ini sejalan dengan visi pemerintah untuk mencapai keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan.
Menyeimbangkan Kebutuhan dan Keberlanjutan
Strategi yang diusulkan Bahlil menekankan pentingnya solusi yang pragmatis dan terukur. Ia menyadari bahwa transisi menuju energi terbarukan memerlukan waktu dan investasi yang signifikan. Oleh karena itu, pemanfaatan batu bara dengan teknologi CCS dapat menjadi solusi sementara yang efektif dan efisien, sambil terus mendorong pengembangan energi terbarukan secara bertahap. Dengan demikian, Indonesia dapat memenuhi kebutuhan energinya saat ini tanpa mengabaikan komitmen jangka panjang terhadap lingkungan.
Kesimpulannya, usulan Bahlil untuk mengelola batu bara secara lebih bersih dengan teknologi CCS menawarkan pendekatan yang seimbang antara kebutuhan energi yang terjangkau dan upaya pelestarian lingkungan. Strategi ini dapat menjadi jembatan menuju masa depan energi yang lebih berkelanjutan, di mana energi terbarukan memainkan peran yang semakin besar, namun tanpa mengorbankan akses masyarakat terhadap energi yang terjangkau.
"Saya lebih memilih untuk tetap komit ke energi bersih dengan blend batu bara, gas dan energi baru yang lain, tapi masyarakat tidak dikorbankan dengan harga yang mahal dan negara juga tidak dibebani dengan subsidi," ujar Bahlil.