Setelah 20 Tahun Perdamaian, Kemandirian Ekonomi Aceh Mendesak Menurut Guru Besar USK
Guru Besar USK menekankan pentingnya Kemandirian Ekonomi Aceh pasca 20 tahun perdamaian, mendesak Aceh lepas dari ketergantungan dana otonomi khusus. Bagaimana strategi yang harus ditempuh?

Banda Aceh, 6 Agustus 2024 – Provinsi Aceh akan genap 20 tahun menikmati masa perdamaian pascakonflik berkepanjangan pada 15 Agustus 2025. Momen penting ini menandai dua dekade sejak penandatanganan MoU Helsinki antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Seiring dengan pencapaian perdamaian tersebut, Aceh telah menerima dana otonomi khusus (otsus) sejak tahun 2008. Dana ini bertujuan untuk mendukung pembangunan dan pemulihan daerah setelah konflik.
Namun, Guru Besar Ekonomi Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh, Prof. Mukhlis Yunus, mengingatkan bahwa Aceh harus mulai mempersiapkan diri untuk kemandirian ekonomi. Hal ini penting mengingat dana otsus akan berakhir pada tahun 2027, sehingga ketergantungan harus dikurangi.
Peningkatan Pendidikan dan Keterampilan
Prof. Mukhlis Yunus menekankan bahwa salah satu kunci utama kemandirian ekonomi adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia. Investasi dalam pendidikan dan pelatihan keterampilan menjadi sangat krusial.
Fokus harus diberikan pada pengembangan pendidikan yang relevan dengan kebutuhan industri dan masyarakat. Tujuannya adalah menciptakan tenaga kerja yang kompeten dan siap bersaing di pasar kerja global maupun lokal.
Langkah ini akan memastikan bahwa generasi muda Aceh memiliki bekal yang cukup untuk berkontribusi pada pembangunan ekonomi daerah. Dengan SDM berkualitas, Aceh dapat menarik investasi dan mengembangkan sektor-sektor strategis.
Pemberdayaan Ekonomi Lokal dan Pariwisata
Pengembangan ekonomi berbasis masyarakat merupakan strategi penting lainnya yang disarankan oleh Prof. Mukhlis. Ini mencakup sektor-sektor seperti industri kreatif, pertanian, dan pariwisata.
Peningkatan pendapatan masyarakat dapat dicapai melalui pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). UMKM memiliki potensi besar untuk menciptakan lapangan kerja dan menggerakkan ekonomi di tingkat akar rumput.
Selain itu, Prof. Mukhlis juga menyoroti potensi besar pariwisata Aceh. Keindahan alam dan kekayaan budaya Aceh harus dimanfaatkan secara optimal untuk menarik wisatawan. Peningkatan infrastruktur pariwisata dan promosi yang gencar akan sangat membantu dalam mencapai target ini, sekaligus meningkatkan pendapatan daerah.
Tata Kelola Pemerintahan dan Sumber Daya Alam
Memperkuat tata kelola pemerintahan dan memperketat pengawasan terhadap praktik korupsi adalah langkah fundamental. Hal ini akan meningkatkan efektivitas pemerintahan dan membangun kepercayaan masyarakat.
Peningkatan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan sumber daya alam dan keuangan daerah juga sangat penting. Pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan harus menguntungkan masyarakat lokal, seperti peningkatan kontribusi sektor energi.
Sesuai Undang-Undang Pemerintahan Aceh, provinsi ini berhak mendapatkan 70 persen hasil migas di bawah 12 mil laut dan 30 persen di atas 12 mil. Pemanfaatan hak ini secara optimal dapat mengurangi ketergantungan pada dana otsus.
Iklim Investasi dan Kerja Sama Regional
Untuk menciptakan kemandirian ekonomi, Prof. Mukhlis menyarankan peningkatan iklim investasi yang kondusif. Ini berarti perbaikan berbagai regulasi dan pengurangan ketidakpastian hukum di Aceh.
Transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran juga harus ditingkatkan untuk mengurangi korupsi dan inefisiensi. Hal ini akan menarik investor dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Terakhir, penguatan kerja sama regional juga diperlukan untuk meningkatkan perekonomian dan keamanan daerah. Kerja sama ini dapat membuka peluang baru dan mempercepat pembangunan ekonomi Aceh.