Bahlil Lahadalia Usul Strategi Cerdas: Manfaatkan Batu Bara dan EBT Secara Bersamaan
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengusulkan strategi pemanfaatan batu bara dan energi baru terbarukan (EBT) secara bersamaan untuk menjaga harga listrik terjangkau dan daya saing industri.

Jakarta, 19 Februari 2024 - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, mengajukan strategi inovatif dalam pemanfaatan sumber daya energi di Indonesia. Strategi ini menggabungkan pemanfaatan batu bara dengan energi baru terbarukan (EBT) untuk mencapai keseimbangan antara kebutuhan energi dan komitmen global terhadap pengurangan emisi karbon. Usulan ini disampaikan dalam Indonesia Economic Summit di Jakarta, Rabu lalu.
Inti dari strategi ini adalah pemanfaatan teknologi Carbon Capture and Storage (CCS) pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara. Teknologi CCS akan menangkap emisi karbon dan menyimpannya di bekas sumur minyak dan gas. Dengan demikian, batu bara dapat tetap digunakan sebagai sumber energi tanpa menambah polusi udara secara signifikan. "Jadi, judulnya batubara bukan kotor, ini batu bara bersih," tegas Menteri Bahlil.
Selain itu, strategi ini juga menekankan optimalisasi penggunaan EBT seperti energi surya dan angin pada siang hari, sementara batu bara digunakan pada malam hari. Kombinasi ini diharapkan mampu menjaga stabilitas harga listrik dan daya saing industri nasional. "Kita blending agar harganya pas masuk. Karena kalau tidak, saya yakinkan bahwa kita akan mengalami persoalan yang susah. (Strategi ini dilakukan) supaya industri kita bisa tetap kompetitif dengan produk-produk yang lain," jelas Bahlil.
Mengatasi Dilema Energi: Antara Komitmen Global dan Realita Ekonomi
Usulan Menteri Bahlil muncul di tengah perdebatan global mengenai transisi energi dan komitmen terhadap Perjanjian Iklim Paris. Indonesia, sebagai negara berkembang, menghadapi tantangan dalam memenuhi target pengurangan emisi karbon, terutama mengingat biaya produksi listrik dari gas yang jauh lebih mahal daripada batu bara. Perbedaan biaya ini mencapai Rp5-6 triliun per gigawatt (GW) per tahun.
Bahlil menyoroti dilema yang dihadapi Indonesia. Jika Indonesia beralih sepenuhnya ke gas, biaya yang dibutuhkan sangat besar. Pembangunan 10 GW PLTU gas hingga tahun 2029 saja membutuhkan selisih biaya hingga Rp50 triliun per tahun, atau Rp500 triliun hingga tahun 2034 jika targetnya 21 GW. Hal ini akan berdampak pada kenaikan tarif listrik atau peningkatan beban subsidi pemerintah.
Ketersediaan gas juga menjadi kendala. Pembangunan 10 GW PLTU gas membutuhkan 250 kargo gas LNG per tahun, hampir seluruh produksi gas dalam negeri. "Jadi, ini dilema yang sangat luar biasa. Sudah harganya tinggi, gas kita dipakai semua ke sana," ungkap Bahlil.
Strategi Blending: Solusi Kompromistis?
Menimbang tantangan tersebut, Menteri Bahlil mengusulkan strategi blending penggunaan batu bara dan EBT. Strategi ini dianggap sebagai solusi kompromistis yang mempertimbangkan aspek ekonomi dan lingkungan. Dengan memanfaatkan teknologi CCS dan mengoptimalkan penggunaan EBT, Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada gas dan tetap menjaga daya saing industri.
"Saya laporkan kepada Pak Presiden, saya bilang kalau batu bara kita ini kan masih banyak, kenapa harus kita ikut gendang negara-negara besar? China, India, masih batubara, cuma di-blending. Saya sampaikan kepada Pak Presiden, Pak, kalau Bapak izinkan, kasih kami waktu, kita buat strategi agar cost-nya tidak mahal, tapi energi baru terbarukan tetap ada," ujar Menteri ESDM.
Strategi ini juga mempertimbangkan kondisi global yang dinamis. Dengan keluarnya Amerika Serikat dari Perjanjian Paris, Indonesia perlu menyusun strategi energi yang lebih realistis dan sesuai dengan kondisi domestik. Strategi blending batu bara dan EBT menawarkan jalan tengah yang memungkinkan Indonesia untuk tetap berkomitmen terhadap pengurangan emisi karbon tanpa mengorbankan stabilitas ekonomi.
Kesimpulannya, usulan Menteri Bahlil menawarkan pendekatan yang pragmatis dalam menghadapi tantangan transisi energi. Dengan menggabungkan teknologi CCS, optimalisasi EBT, dan pemanfaatan batu bara secara bijak, Indonesia dapat mencapai keseimbangan antara kebutuhan energi, komitmen lingkungan, dan daya saing ekonomi.