Estetika 'Anak Skena' dan Bahaya Rokok: Mengapa Anak Muda Indonesia Kian Terjebak Adiksi?
Di balik gaya hidup 'anak skena' yang penuh estetika, industri rokok memanfaatkan celah untuk menjerat anak muda Indonesia. Bagaimana bahaya rokok mengancam masa depan mereka?

Generasi muda Indonesia, yang kerap disebut "anak skena", tengah membentuk identitasnya melalui bahasa visual, warna, dan gaya hidup yang unik. Mereka tidak hanya mengikuti tren, melainkan juga mengkurasi ekspresi diri melalui pilihan busana, minat komunitas, hingga aktivitas digital yang ditampilkan.
Namun, di tengah gelombang kreativitas dan ekspresi ini, muncul tantangan serius ketika estetika dimanfaatkan sebagai pintu masuk oleh industri yang menjual adiksi. Industri rokok, misalnya, telah lama mengadopsi strategi ini dengan desain kemasan minimalis dan nama rasa yang menarik.
Akibatnya, konsumsi rokok, termasuk rokok elektronik, di kalangan anak muda mengalami peningkatan signifikan, memicu kekhawatiran akan dampak kesehatan dan kerugian ekonomi yang masif. Kondisi ini telah berkembang menjadi krisis nasional yang mengancam masa depan generasi penerus bangsa.
Strategi Halus Industri Rokok Menjerat Generasi Muda
Industri rokok kini menggunakan pendekatan yang lebih halus dan modern untuk menarik perhatian generasi muda. Desain kemasan yang minimalis, penggunaan warna pastel, serta penamaan rasa seperti "ice burst" atau "cotton candy" membuat produk rokok terlihat tidak berbahaya dan justru menarik.
Fenomena ini berkorelasi langsung dengan peningkatan drastis konsumsi rokok elektronik, yang tercatat naik hingga sepuluh kali lipat dalam satu dekade terakhir. Promosi gencar juga dilakukan melalui media sosial, di mana 51 persen remaja usia 13-15 tahun pernah melihat iklan rokok, dengan 41 persen di antaranya berasal dari influencer.
Keterpaparan ini bukanlah kebetulan, melainkan hasil dari peningkatan iklan, promosi, dan sponsor rokok di media sosial yang melonjak dari 1,9 persen pada 2011 menjadi 21,4 persen pada 2021. Bahkan, pelajar yang bersekolah di dekat iklan rokok memiliki kemungkinan 2,8 kali lebih besar untuk merokok.
Industri rokok juga menyusup ke ruang ekspresi anak muda seperti gigs, taman kota, dan festival dengan dalih mendukung kreativitas. Namun, tindakan ini sejatinya merupakan eksploitasi visual dan budaya demi normalisasi konsumsi produk adiktif.
Dampak Nyata dan Kerugian Akibat Adiksi Rokok
Adiksi rokok di kalangan anak muda telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan, dengan Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 mencatat hampir 6 juta anak usia 10-18 tahun adalah perokok. Studi CISDI 2023 juga menemukan bahwa remaja bisa menghabiskan Rp30.000 hingga Rp200.000 per minggu hanya untuk membeli rokok.
Dampak rokok tidak hanya terbatas pada individu, tetapi juga menimbulkan beban besar bagi negara. Setiap tahun, rokok menyebabkan 225.700 kematian dini dan hilangnya 6 juta tahun produktif, dengan total kerugian ekonomi mencapai Rp2.755 triliun, setara dengan satu tahun APBN.
Selain itu, BPJS Kesehatan pernah menanggung Rp27,7 triliun untuk penyakit akibat rokok, menegaskan bahwa masalah ini telah menjadi krisis nasional. Meskipun kebijakan standardisasi kemasan diklaim dapat menurunkan daya tarik visual, argumen mengenai rokok ilegal seringkali muncul.
Namun, studi CISDI 2025 menegaskan bahwa rokok ilegal lebih disebabkan oleh lemahnya pengawasan, distribusi yang longgar, dan korupsi regulasi, bukan karena desain polos atau harga cukai. Hal ini menyoroti perlunya penegakan hukum yang lebih kuat.
Peran Negara dan Kolaborasi untuk Masa Depan Sehat
Pemerintah telah memiliki kerangka hukum yang kuat melalui Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan. Regulasi ini mencakup larangan penjualan rokok batangan, pengendalian iklan digital, pembatasan sponsor kegiatan anak, dan penguatan Kawasan Tanpa Rokok.
Meskipun demikian, implementasi peraturan ini masih menghadapi tantangan, dengan penjualan rokok batangan yang masih marak dan iklan rokok yang tetap menjamur di sekitar sekolah. Ironisnya, kota-kota yang telah ditetapkan sebagai Kota Layak Anak seperti Surabaya dan Jakarta justru menjadi tuan rumah pameran industri rokok internasional.
Komitmen terhadap generasi muda seharusnya tercermin dalam keberanian menolak ruang promosi adiksi dan memastikan penegakan hukum yang tegas. Di sisi lain, instrumen cukai juga penting sebagai pengendali akses, agar rokok tidak semakin terjangkau bagi kelompok rentan seperti anak-anak.
Perlindungan terhadap anak muda membutuhkan kolaborasi lintas sektor yang kuat, melibatkan pemerintah, komunitas, media, dan dunia usaha. Penting untuk memastikan bahwa estetika tidak menjadi alat eksploitasi, melainkan medium edukasi, kreativitas, dan pemberdayaan.
Industri rokok, sebagai entitas bisnis, wajib tunduk pada Prinsip-Prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan HAM (UNGPs), yang menegaskan tanggung jawab untuk menghormati hak anak atas kesehatan dan informasi yang benar. Ini berarti menghentikan promosi yang menyasar anak muda dan memastikan produk tidak mudah diakses kelompok rentan.