Fakta Mengejutkan: Kenaikan PBB dan NJOP di 20 Daerah Tak Terkait Efisiensi Anggaran, Mendagri Buka Suara
Mendagri Tito Karnavian menegaskan kenaikan PBB dan NJOP di sejumlah daerah tidak ada kaitannya dengan kebijakan efisiensi anggaran pemerintah pusat, mematahkan spekulasi publik.

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Muhammad Tito Karnavian menyatakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) di sejumlah daerah tidak terkait efisiensi anggaran pemerintah pusat. Pernyataan ini disampaikan pada Jumat (15/8) malam di Jakarta. Hal ini bertujuan untuk meluruskan spekulasi publik terkait kebijakan kenaikan pajak yang memicu polemik.
Menurut Mendagri Tito, banyak daerah telah memberlakukan kenaikan tarif PBB sejak tahun 2022. Lima daerah baru mulai menerapkan kenaikan pajak tersebut pada tahun ini. Ini menunjukkan bahwa kebijakan ini sudah ada sebelum rencana efisiensi anggaran pemerintah pusat diberlakukan.
Sebanyak 20 daerah tercatat menaikkan PBB dan NJOP dengan variasi persentase yang berbeda. Sebagian besar aturan daerah ini diterbitkan sebelum kebijakan efisiensi anggaran pemerintah pusat berlaku pada awal 2025. Oleh karena itu, Mendagri menegaskan tidak ada hubungan langsung antara keduanya.
Kewenangan Daerah dan Waktu Penerapan Aturan Pajak
Mendagri Tito Karnavian menjelaskan bahwa 15 daerah telah membuat aturan terkait kenaikan pajak pada 2022, 2023, dan 2024. Sementara itu, lima daerah lainnya baru menerapkan aturan tersebut pada tahun 2025. Peraturan Kepala Daerah (Perkada) dari lima daerah tersebut memang dibuat pada tahun 2025.
Data ini menguatkan argumen bahwa kenaikan PBB dan NJOP di 15 daerah tidak ada hubungannya dengan efisiensi anggaran. Kebijakan efisiensi anggaran pemerintah pusat baru akan resmi diterapkan pada awal 2025. Oleh karena itu, waktu penerbitan aturan daerah menjadi kunci dalam memahami konteks ini.
Tito menegaskan bahwa kenaikan PBB dan NJOP merupakan kewenangan pemerintah daerah. Hal ini sesuai dengan amanat Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD). Namun, ada klausul penting yang harus dipatuhi oleh pemerintah daerah.
Klausul tersebut mengharuskan pemerintah daerah mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi masyarakat sebelum menaikkan tarif pajak. Selain itu, partisipasi masyarakat juga menjadi syarat mutlak dalam proses penetapan kebijakan ini. Pemerintah daerah wajib mendengar suara publik agar kebijakan yang diambil tidak membebani rakyat.
Data Daerah Terdampak dan Pembatalan Tarif
Dari total 20 daerah yang memberlakukan kenaikan PBB dan NJOP, besaran kenaikannya bervariasi. Ada daerah yang menaikkan 5 persen, ada yang 10 persen, bahkan ada yang berdampak di atas 100 persen. Variasi ini menunjukkan otonomi daerah dalam menetapkan kebijakan fiskal mereka.
Mendagri Tito menambahkan bahwa dari 20 daerah tersebut, dua di antaranya telah membatalkan aturan kenaikan pajak. Daerah yang dimaksud adalah Kabupaten Pati dan Jepara. Pembatalan ini menunjukkan respons pemerintah daerah terhadap aspirasi dan keberatan masyarakat.
Kasus pembatalan di Pati dan Jepara menjadi preseden penting bagi daerah lain. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun kewenangan ada di tangan daerah, suara publik memiliki kekuatan signifikan. Kebijakan yang tidak mempertimbangkan kondisi masyarakat rentan menuai penolakan dan protes.
Polemik Kenaikan PBB di Pati dan Respons Warga
Salah satu contoh nyata polemik kenaikan PBB terjadi di Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Puluhan ribu warga melakukan unjuk rasa pada Rabu (13/8) menuntut Bupati Pati Sudewo mengundurkan diri. Unjuk rasa ini dipicu oleh kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) sebesar 250 persen.
Kenaikan yang drastis ini menimbulkan keresahan dan keberatan di kalangan masyarakat Pati. Mereka merasa terbebani dengan tarif pajak yang dianggap tidak proporsional. Aksi massa ini menunjukkan betapa pentingnya partisipasi dan pertimbangan kondisi sosial ekonomi dalam penetapan kebijakan pajak.
Akibat desakan publik, kebijakan kenaikan PBB-P2 di Pati akhirnya dibatalkan. Tarif PBB-P2 akan dikembalikan seperti semula atau sama seperti tahun 2024. Pembatalan ini menjadi bukti bahwa pemerintah daerah harus responsif terhadap keluhan dan masukan dari warganya demi menjaga stabilitas sosial.