FITRA Rekomendasikan 8 Langkah Tegas Atasi Korupsi "Bensin Oplosan" Pertamina
Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) mengeluarkan delapan rekomendasi untuk mengatasi kasus korupsi "bensin oplosan" Pertamina yang merugikan negara hingga Rp968,5 triliun.

Kejaksaan Agung mengungkap kasus korupsi yang melibatkan direksi anak usaha Pertamina dan pihak swasta, dengan kerugian negara mencapai angka fantastis. Kasus yang dikenal sebagai "bensin oplosan" ini melibatkan pengoplosan BBM jenis Pertamax dengan Pertalite, bahkan terjadi selama masa pandemi COVID-19. Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) pun angkat bicara dan memberikan delapan rekomendasi penting untuk menyelesaikan masalah ini.
Sekjen FITRA, Misbah Hasan, mengungkapkan bahwa kerugian negara awalnya diperkirakan sebesar Rp193,7 triliun, namun setelah investigasi lebih lanjut, total kerugian negara diperkirakan mencapai Rp968,5 triliun dari tahun 2018 hingga 2023. Angka ini menunjukkan besarnya dampak korupsi "bensin oplosan" terhadap perekonomian Indonesia.
Rekomendasi FITRA ini bertujuan untuk memberikan solusi menyeluruh, mulai dari penegakan hukum hingga perbaikan sistem tata kelola di Pertamina dan lembaga terkait. Langkah-langkah yang tegas dan transparan diharapkan dapat mengembalikan kepercayaan publik dan mencegah terulangnya kasus serupa di masa mendatang.
Rekomendasi FITRA untuk Mengatasi Korupsi "Bensin Oplosan"
FITRA memberikan delapan rekomendasi penting untuk mengatasi kasus korupsi "bensin oplosan". Rekomendasi pertama adalah memberhentikan secara tidak hormat sembilan tersangka yang terlibat dan memberikan hukuman seberat-beratnya. Hal ini penting untuk memberikan efek jera dan menunjukkan keseriusan pemerintah dalam memberantas korupsi.
Kedua, FITRA mendesak Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk menelusuri aliran dana hasil korupsi dan menyampaikan informasi tersebut kepada publik. Transparansi dalam hal ini sangat penting untuk memastikan proses hukum berjalan dengan adil dan akuntabel.
Ketiga, Kejaksaan Agung dan Aparat Penegak Hukum (APH) didesak untuk mengembangkan penyidikan aliran dana agar tersangka lain yang terlibat dapat ditemukan dan diproses secara hukum. Hal ini bertujuan untuk mengungkap seluruh jaringan korupsi dan mencegah pelaku lainnya lolos dari jerat hukum.
Keempat, FITRA meminta Pertamina untuk menerapkan sistem rekrutmen yang ketat (merit system) untuk menghindari konflik kepentingan dan nepotisme. Sistem rekrutmen yang transparan dan berdasarkan meritokrasi akan membantu mencegah terjadinya korupsi di masa mendatang.
Kelima, FITRA meminta evaluasi kinerja Kementerian Badan Usaha Milik Negara (Kemen BUMN) dalam penyusunan regulasi dan pengawasan terhadap kinerja BUMN dan anak usahanya. Pengawasan yang ketat dan regulasi yang jelas sangat penting untuk mencegah terjadinya korupsi.
Keenam, FITRA mendorong Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) dan Lembaga Minyak dan Gas Bumi (Lemigas) untuk meningkatkan monitoring dan evaluasi terhadap BBM yang beredar. Monitoring yang ketat akan membantu mencegah praktik pengoplosan BBM dan melindungi konsumen.
Ketujuh, FITRA mendorong transparansi dan akuntabilitas tata kelola migas dengan mengembangkan sistem monitoring (seperti dashboard) yang dapat dipantau oleh masyarakat. Sistem ini akan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan migas.
Terakhir, FITRA menekankan pentingnya mengesahkan Undang-undang Perampasan Aset untuk menciptakan efek jera dan mempercepat pemulihan kerugian negara. Undang-undang ini akan memberikan alat hukum yang kuat untuk mencegah dan mengatasi korupsi.
Kasus "bensin oplosan" ini menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah dan seluruh stakeholder terkait. Penerapan rekomendasi FITRA diharapkan dapat mencegah terulangnya kasus serupa dan mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap pengelolaan migas di Indonesia. Transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci utama dalam mengatasi masalah ini.