Hilirisasi Batu Bara Jadi Metanol: Solusi Biofuel Indonesia?
Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi mendorong hilirisasi batu bara menjadi metanol untuk mengurangi ketergantungan impor dan mendukung program biofuel nasional.

Jakarta, 19 Maret 2024 - Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi, Todotua Pasaribu, mengusulkan hilirisasi batu bara menjadi metanol sebagai solusi strategis untuk mendukung program biofuel pemerintah. Langkah ini bertujuan mengurangi ketergantungan Indonesia pada impor metanol, yang saat ini masih signifikan, guna mencapai kedaulatan energi nasional. Inisiatif ini diungkapkan dalam Mining Forum di Jakarta, Selasa lalu, yang membahas industri pertambangan dalam konteks pertumbuhan ekonomi dan gejolak global.
Menurut Todotua, beberapa perusahaan nasional telah memulai pengembangan produksi metanol dari batu bara. Metanol sendiri merupakan komponen penting dalam pembuatan biofuel, khususnya biodiesel. Pemerintah saat ini tengah gencar mengimplementasikan program biodiesel, dengan target peningkatan rasio pencampuran biodiesel dalam solar. Kenaikan target ini berdampak pada peningkatan kebutuhan metanol secara signifikan.
Program biodiesel 35 (B35) saat ini masih membutuhkan impor metanol hingga 1,8 juta ton. Rencana peningkatan rasio pencampuran menjadi B40 pada Januari 2025, bahkan diperkirakan akan meningkatkan kebutuhan impor metanol menjadi 2,3 hingga 2,5 juta ton. Hal ini mendorong pemerintah untuk mencari solusi alternatif, salah satunya melalui hilirisasi batu bara menjadi metanol.
Hilirisasi Batu Bara: Jalan Menuju Kedaulatan Energi
Pemerintah Indonesia, di bawah arahan Presiden Prabowo Subianto, menargetkan implementasi B50 pada tahun 2026. Target ambisius ini membutuhkan peningkatan produksi metanol dalam negeri secara drastis. Wakil Menteri ESDM, Yuliot Tanjung, mengungkapkan bahwa Indonesia masih membutuhkan sekitar 2 juta ton metanol untuk mencapai target B50, sementara produksi dalam negeri baru mencapai 300 ribu ton. Ini berarti, masih terdapat defisit besar yang harus dipenuhi melalui impor.
Hilirisasi batu bara menjadi metanol diharapkan dapat mengurangi, bahkan menghilangkan, ketergantungan impor tersebut. Dengan demikian, Indonesia dapat mengoptimalkan sumber daya alam domestik untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri secara mandiri. Langkah ini sejalan dengan upaya pemerintah untuk meningkatkan cadangan energi dan mengurangi risiko ketergantungan pada pasokan energi dari luar negeri.
"Metanol ini salah satu bahan yang dipakai untuk mengolah produk yang namanya biofuel. Tentunya ini yang dilihat pemerintah ke depannya, bagaimana kami bisa mengkomprehensifkan tata kelola sumber daya alam yang kita miliki," ujar Todotua Pasaribu.
Tantangan dan Peluang Hilirisasi Batu Bara
Meskipun menawarkan peluang besar, hilirisasi batu bara menjadi metanol juga dihadapkan pada sejumlah tantangan. Salah satunya adalah pengembangan teknologi yang efisien dan ramah lingkungan. Pemerintah perlu memastikan proses hilirisasi dilakukan dengan memperhatikan aspek lingkungan dan keberlanjutan. Selain itu, diperlukan investasi yang cukup besar untuk membangun infrastruktur dan fasilitas produksi metanol.
Namun, potensi keuntungan yang ditawarkan cukup signifikan. Selain mengurangi ketergantungan impor, hilirisasi batu bara dapat menciptakan lapangan kerja baru dan mendorong pertumbuhan ekonomi di sektor hilir. Pemerintah perlu memberikan dukungan dan insentif yang memadai untuk mendorong investasi di sektor ini.
"Berarti, 2 juta ton masih impor. Jadi, kami lagi mendorong ini PSN bioetanol yang ada di Bojonegoro. Itu yang lagi kami kejar," kata Yuliot Tanjung.
Kesimpulannya, hilirisasi batu bara menjadi metanol merupakan langkah strategis untuk mendukung program biofuel nasional dan mencapai kedaulatan energi. Namun, keberhasilannya bergantung pada komitmen pemerintah dalam memberikan dukungan kebijakan, investasi, dan pengembangan teknologi yang tepat.