Indonesia Perlu Bijak Ekspansi PLTU Captive: Ancaman Emisi dan Biaya Tinggi
Ekspansi PLTU batu bara captive di Indonesia berpotensi menghambat target emisi rendah dan meningkatkan biaya listrik, mendorong perlunya kebijakan energi terbarukan yang lebih bijak.

Jakarta, 20 Februari 2024 - Indonesia dihadapkan pada dilema dalam rencana ekspansi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara captive. Analis Senior Iklim dan Energi untuk Indonesia di EMBER, Dody Setiawan, menyoroti perlunya kebijakan yang lebih bijaksana dalam pengembangan PLTU ini. Rencana penambahan 26,8 gigawatt (GW) PLTU baru dalam tujuh tahun mendatang, dengan mayoritas berasal dari ekspansi PLTU captive, menimbulkan kekhawatiran akan dampak lingkungan dan ekonomi jangka panjang.
Menurut analisis EMBER, ekspansi PLTU captive berpotensi menghambat pencapaian target skenario rendah emisi dan Just Energy Transition Partnership (JETP). Hal ini juga akan meningkatkan biaya listrik secara signifikan. Dody menekankan pentingnya transisi energi menuju sumber terbarukan untuk mengurangi emisi industri smelter dan meningkatkan daya saing produk Indonesia di pasar global. "Indonesia seharusnya mulai mengurangi emisi industri smelternya dengan energi terbarukan, untuk meningkatkan aspek keberlanjutan dan daya saing produknya," ujar Dody.
Proyeksi pertumbuhan pembangkit listrik tenaga batu bara sebesar 62,7 persen hingga mencapai puncaknya pada tahun 2037, bertentangan dengan komitmen Indonesia untuk menghentikan penggunaan batu bara pada tahun 2040, seperti yang diumumkan Presiden di KTT G20. Situasi ini berisiko mengunci Indonesia pada pembangkit listrik yang mahal dan beremisi tinggi, membuatnya semakin tidak kompetitif dibandingkan dengan negara-negara yang berinvestasi pada energi terbarukan. "Memproduksi material untuk teknologi hijau dengan sumber energi yang beremisi tinggi merupakan pilihan yang kurang tepat," tegas Dody.
Tantangan Ekspansi PLTU Captive
Laporan EMBER juga mengungkap sejumlah tantangan yang dihadapi oleh PLTU baru, baik dari segi finansial maupun regulasi. PLTU baru hanya diizinkan beroperasi hingga tahun 2050, diwajibkan mengurangi emisi hingga 35 persen dalam 10 tahun, dan tidak akan mendapatkan keuntungan dari harga batu bara Domestic Market Obligation (DMO). Hal ini memaksa operator untuk membayar harga pasar, meningkatkan biaya operasional.
Katherine Hasan, analis di Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA), mendukung perlunya evaluasi ulang rencana ekspansi PLTU captive. Ia menekankan pentingnya penegakan peraturan emisi dan percepatan transisi energi terbarukan untuk menjaga komitmen iklim Indonesia, mengurangi biaya energi jangka panjang, menarik investasi energi bersih, dan meningkatkan keberlanjutan produk hilirisasi. "Berkomitmen pada jalur yang jelas untuk menghentikan penggunaan batu bara, sambil memprioritaskan energi terbarukan, akan membantu Indonesia mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi semua negara yang bergantung pada batu bara dalam beberapa dekade penting ini," kata Katherine.
Katherine juga menambahkan bahwa saat ini adalah waktu yang tepat bagi Indonesia untuk mewujudkan keterjangkauan dan keamanan energi sebagaimana tercantum dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN). Hal ini membutuhkan komitmen kuat untuk beralih ke energi terbarukan dan mengurangi ketergantungan pada PLTU batu bara captive.
Perlunya Strategi Transisi Energi yang Komprehensif
Kesimpulannya, ekspansi PLTU captive di Indonesia menimbulkan risiko signifikan terhadap target emisi, biaya energi, dan daya saing ekonomi jangka panjang. Pemerintah perlu mempertimbangkan kembali rencana ekspansi ini dan memprioritaskan investasi pada energi terbarukan sebagai langkah strategis untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan dan transisi energi yang adil. Strategi transisi energi yang komprehensif, yang mencakup penegakan peraturan emisi, dukungan kebijakan untuk energi terbarukan, dan investasi dalam infrastruktur pendukung, sangat krusial untuk keberhasilan transisi energi di Indonesia.
Langkah ini tidak hanya akan mengurangi emisi gas rumah kaca, tetapi juga akan menciptakan lapangan kerja baru, meningkatkan ketahanan energi, dan memastikan Indonesia tetap kompetitif di pasar global. Komitmen yang jelas untuk menghentikan penggunaan batu bara dan beralih ke energi terbarukan merupakan kunci untuk masa depan energi yang berkelanjutan dan sejahtera bagi Indonesia.