Kasus Korupsi Dana KPR Sorong Tahap II: Dua Tersangka Dituntut
Kejati Papua Barat menyerahkan dua tersangka kasus korupsi dana KPR di Sorong senilai Rp54,4 miliar ke Pengadilan Negeri Manokwari, memasuki tahap II proses hukum.

Kejaksaan Tinggi (Kejati) Papua Barat telah melimpahkan berkas perkara kasus korupsi dana Kredit Pemilikan Rumah (KPR) di Sorong, Papua Barat Daya, ke Pengadilan Negeri Manokwari. Hal ini menandai masuknya kasus tersebut ke tahap II, proses persidangan. Dua tersangka, mantan Kepala Cabang Pembantu Kumurkek berinisial HPL dan Direktur Utama PT Jaya Molek Perkasa berinisial SDA, kini menghadapi proses hukum lebih lanjut. Kasus ini mengakibatkan kerugian negara mencapai Rp54,4 miliar.
Asisten Tindak Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Papua Barat, Abun Hasbullah Syambas, menjelaskan bahwa penyidik telah menyerahkan tersangka dan barang bukti kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Sorong pada 20 Maret 2025. Berkas perkara dinyatakan lengkap (P-21) setelah melalui proses penyidikan yang panjang dan teliti. Proses hukum selanjutnya akan berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Manokwari.
Kasus ini bermula dari penyaluran KPR Sejahtera bersubsidi oleh PT BPD Papua pada 2016-2017. Program ini didukung fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) untuk membantu masyarakat berpenghasilan rendah memiliki rumah. Namun, proses penyaluran dana KPR diduga sarat dengan penyimpangan dan pelanggaran prosedur.
Proses Penyaluran Dana KPR yang Bermasalah
Menurut Abun Hasbullah, pejabat kredit di bawah tekanan dari Kepala PT BPD Papua KCP Kumurkek, terbukti melanggar prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit. Mereka lalai dalam melakukan supervisi, bahkan memalsukan hasil supervisi. Verifikasi sasaran KPR juga diabaikan, begitu pula dengan analisa nilai wajar agunan.
Lebih lanjut, tahapan pemberian kredit dikesampingkan. Permohonan KPR FLPP disetujui meskipun bangunan rumah yang akan dibeli belum ada atau belum siap huni. Hal ini jelas melanggar Peraturan Menteri PUPR dan Surat Keputusan Direksi Bank Papua yang mewajibkan verifikasi permohonan KPR dan pengecekan fisik bangunan, termasuk prasarana, sarana lingkungan, dan utilitas umum (PSU).
Akibatnya, sebagian besar kredit menjadi macet, mengakibatkan kerugian keuangan negara yang signifikan. PT Jaya Molek Perkasa (JMP), sebagai developer, membangun kurang lebih 386 unit rumah di Kota dan Kabupaten Sorong. Namun, sebanyak 240 unit di antaranya belum selesai dibangun, memperparah dampak kerugian negara.
Tersangka dan Pasal yang Dituduhkan
Kedua tersangka, HPL dan SDA, disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Ancaman hukumannya berat, yaitu pidana penjara seumur hidup atau paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun, serta denda hingga miliaran rupiah.
Pasal 2 ayat (1) menjerat mereka atas tindakan korupsi yang merugikan keuangan negara, sedangkan Pasal 3 terkait dengan penggelapan dalam jabatan. Proses persidangan di Pengadilan Negeri Manokwari akan menentukan nasib kedua tersangka dan menjadi pembelajaran penting bagi pengelolaan dana publik agar lebih transparan dan akuntabel.
Kasus ini menyoroti pentingnya pengawasan ketat dalam penyaluran dana subsidi perumahan untuk mencegah praktik korupsi dan memastikan dana tersebut tepat sasaran. Proses hukum yang sedang berjalan diharapkan dapat memberikan keadilan dan mengembalikan kerugian negara.
Kesimpulan: Kasus korupsi dana KPR di Sorong ini menjadi pengingat pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan negara, khususnya dalam program-program subsidi yang bertujuan untuk membantu masyarakat kurang mampu.