Kebijakan Iklim Aceh: Perempuan Perlu Lebih Diperhatikan
Staf Ahli KPPA menyoroti pentingnya kebijakan iklim responsif gender di Aceh, termasuk alokasi dana khusus bagi usaha ekonomi perempuan dan peningkatan partisipasi mereka dalam perencanaan kebijakan iklim.
![Kebijakan Iklim Aceh: Perempuan Perlu Lebih Diperhatikan](https://cdns.klimg.com/mav-prod-resized/0x0/ori/image_bank/2025/02/12/000107.613-kebijakan-iklim-aceh-perempuan-perlu-lebih-diperhatikan-1.jpeg)
Banda Aceh, 11 Februari 2024 - Staf Ahli Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) untuk Gender dan Perubahan Iklim, Chandra Sugarda, menekankan perlunya kebijakan iklim di Aceh yang lebih inklusif dan responsif gender. Hal ini disampaikan dalam diskusi publik bertajuk "Kebijakan Responsif Gender dalam Menghadapi Perubahan Iklim dan Transisi Energi" di Banda Aceh.
Kebijakan TAPE dan Perlunya Peningkatan
Aceh telah memiliki Kebijakan Transfer Anggaran Berbasis Ekologi (TAPE) melalui Peraturan Gubernur nomor 56 tahun 2022. Kebijakan ini memberikan insentif anggaran kepada kabupaten/kota yang berprestasi dalam pengelolaan lingkungan hidup, termasuk perlindungan perempuan dan anak. Meskipun demikian, Chandra Sugarda menyarankan agar TAPE diperdalam agar lebih responsif gender.
Ia merekomendasikan beberapa langkah penting. Pertama, indikator yang lebih spesifik dibutuhkan untuk mengukur dampak kebijakan lingkungan terhadap perempuan. Ini mencakup keterlibatan perempuan dalam pengelolaan hutan dan pertanian berkelanjutan. Kedua, insentif tambahan perlu diberikan kepada desa atau kabupaten/kota yang mengadopsi program adaptasi berbasis komunitas yang dibutuhkan perempuan.
Chandra juga menyoroti pentingnya pendanaan iklim yang responsif gender. Alokasi dana khusus untuk usaha ekonomi perempuan di sektor ramah lingkungan, seperti pertanian organik dan energi terbarukan berbasis komunitas, sangat diperlukan. "Jika pendanaan diberikan secara umum, laki-laki cenderung lebih banyak mengaksesnya," ujarnya. Oleh karena itu, skema pendanaan yang menargetkan perempuan sangat penting untuk memastikan akses yang setara.
Partisipasi Perempuan dan Perlindungan Sosial
Selain pendanaan, Chandra juga menekankan perlunya peningkatan kapasitas dan partisipasi perempuan dalam perencanaan kebijakan iklim. Pembangunan infrastruktur adaptasi juga harus mempertimbangkan kebutuhan perempuan dan kelompok rentan. Lebih lanjut, pengembangan mekanisme perlindungan sosial bagi perempuan yang terdampak perubahan iklim juga krusial.
Skema perlindungan sosial, seperti asuransi iklim dan bantuan langsung tunai, harus memastikan perempuan yang kehilangan mata pencaharian akibat perubahan iklim dapat mengakses bantuan tersebut. "Jika tidak ditargetkan secara khusus, bantuan ini berpotensi lebih banyak diakses oleh laki-laki," tegas Chandra.
Partisipasi Perempuan yang Terbatas di Aceh
Ketua Pusat Riset Perubahan Iklim Universitas Syiah Kuala (USK), Suraiya Kamarazzuaman, mengamini pentingnya peran perempuan dalam aksi perubahan iklim. Namun, ia menyoroti keterbatasan partisipasi perempuan di Aceh berdasarkan riset di delapan kabupaten/kota. "Perempuan hampir tidak pernah terlibat dalam perencanaan, hanya sebagai pelaksana dengan anggaran kecil atau relawan," katanya.
Suraiya juga menyoroti pendekatan mitigasi bencana dan perubahan iklim pasca-tsunami yang masih belum berubah. Laki-laki masih menjadi sasaran utama edukasi, meskipun perempuan merupakan kelompok yang paling berisiko tinggi terdampak. Ia mencontohkan bencana kekeringan di Lhoknga, Aceh Besar, yang menambah beban domestik perempuan, berdampak pada kesehatan mereka.
Kesimpulan
Kesimpulannya, implementasi kebijakan iklim yang responsif gender di Aceh sangat penting. Hal ini membutuhkan peningkatan partisipasi perempuan dalam perencanaan dan pelaksanaan kebijakan, alokasi dana khusus untuk usaha ekonomi perempuan, serta skema perlindungan sosial yang menargetkan perempuan. Dengan demikian, dampak perubahan iklim dapat diatasi secara lebih adil dan efektif.