Kejagung Tangkap Buron Kasus Korupsi Impor Gula 2015-2016
Kejaksaan Agung menangkap HAT, Direktur PT DSI, buron kasus korupsi impor gula tahun 2015-2016 yang merugikan negara hingga Rp578 miliar, setelah sebelumnya menetapkan sembilan tersangka baru.
Kejaksaan Agung (Kejagung) berhasil menangkap HAT, Direktur PT Duta Sugar International (DSI), tersangka buron kasus korupsi impor gula periode 2015-2016. Penangkapan dilakukan di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, Selasa (21/1), sehari setelah HAT ditetapkan sebagai tersangka. Keberhasilan penangkapan ini menjadi sorotan mengingat kasus ini telah menimbulkan kerugian negara yang signifikan.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar, menjelaskan bahwa meskipun penetapan tersangka dilakukan pada Senin (20/1), penyidik Kejagung tetap melakukan pencarian karena HAT tidak memenuhi panggilan. Informasi yang dikumpulkan mengarah pada keberadaan HAT di Pangkalan Bun. Setelah diamankan, HAT dibawa ke Kejagung melalui Surabaya dan langsung ditahan di Rutan Salemba Cabang Kejagung selama 20 hari.
Kasus korupsi impor gula ini melibatkan sembilan tersangka baru, termasuk HAT. Tersangka lainnya antara lain TWN (Direktur Utama PT Angels Products), WN (Presiden Direktur PT Andalan Furnindo), HS (Direktur Utama PT Sentra Usahatama Jaya), IS (Direktur Utama PT Medan Sugar Industry), TSEP (Direktur PT Makassar Tene), ASB (Direktur Utama PT Kebun Tebu Mas), HFH (Direktur Utama PT Berkah Manis Makmur), dan ES (Direktur PT Permata Dunia Sukses Utama). ASB, seperti HAT, juga sempat menjadi buronan.
Peran HAT dalam kasus ini adalah menjalin kerjasama dengan PT Perindo (PPI) untuk pengolahan gula kristal mentah (GKM) impor menjadi gula kristal putih (GKP). PT PPI juga bermitra dengan tujuh perusahaan swasta lain dalam skema impor GKM yang kontroversial ini. Praktik tersebut terjadi atas perintah mantan Menteri Perdagangan, Tom Lembong, melalui Plt. Dirjen Perdagangan Luar Negeri. Persetujuan impor GKM diterbitkan tanpa rekomendasi Kementerian Perindustrian dan koordinasi antarinstansi.
Modus operandinya cukup rumit. Kedelapan perusahaan swasta tersebut, termasuk PT DSI, hanya memiliki izin industri produsen gula kristal rafinasi (GKR). PT PPI membeli GKP hasil olahan dari perusahaan swasta tersebut dengan harga lebih tinggi daripada Harga Eceran Tertinggi (HET) yang berlaku saat itu, yakni Rp16.000 per kilogram dibandingkan HET Rp13.000 per kilogram. Selisih harga dan upah yang diterima PT PPI menyebabkan kerugian negara sekitar Rp578 miliar.
Para tersangka dijerat Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 junto Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 (UU Tipikor), serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Kejagung masih terus melakukan pengejaran terhadap ASB yang masih menjadi buronan.
Penangkapan HAT menjadi bukti komitmen Kejagung dalam mengungkap dan menuntaskan kasus korupsi impor gula ini. Proses hukum akan terus berlanjut untuk memastikan keadilan bagi negara dan masyarakat. Transparansi dan akuntabilitas dalam proses hukum diharapkan dapat mengembalikan kepercayaan publik.