Kejagung Tetapkan 9 Tersangka Baru Kasus Korupsi Impor Gula, Kerugian Negara Rp578 Miliar
Kejaksaan Agung menetapkan sembilan tersangka baru dalam kasus korupsi impor gula tahun 2015-2016, mengakibatkan kerugian negara mencapai Rp578 miliar, meningkat dari perkiraan awal Rp400 miliar.

Kejaksaan Agung (Kejagung) mengumumkan kerugian negara akibat korupsi impor gula periode 2015-2016 mencapai angka fantastis: Rp578 miliar. Pengumuman ini disampaikan Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar, dalam konferensi pers di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin lalu. Angka tersebut merupakan hasil perhitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), meningkat dari estimasi awal sekitar Rp400 miliar.
Lonjakan angka kerugian ini terjadi setelah Kejagung menetapkan sembilan tersangka baru, semuanya berasal dari pihak swasta. Menurut Qohar, angka kerugian terus diperbarui seiring perkembangan investigasi dan penghitungan BPKP. Penetapan tersangka, tegasnya, selalu mempertimbangkan besarnya kerugian negara yang ditimbulkan.
Siapa saja sembilan tersangka baru tersebut? Mereka adalah TWN (Direktur Utama PT AP), WN (Presiden Direktur PT AF), AS (Direktur Utama PT SUJ), IS (Direktur Utama PT MSI), PSEP (Direktur PT MT), HAT (Direktur PT DSI), ASB (Direktur Utama PT KTM), HFH (Direktur Utama PT BMM), dan ES (Direktur PT PDSU). Kesembilan tersangka diduga bekerja sama dengan tersangka Charles Sitorus (Direktur Pengembangan Bisnis PT PPI) dan turut serta dalam skema impor gula yang merugikan negara.
Modus operandinya? Para tersangka mengimpor gula kristal mentah (GKM) dan mengolahnya menjadi gula kristal putih (GKP), meskipun perusahaan-perusahaan tersebut hanya memiliki izin sebagai produsen gula rafinasi. Impor GKM dan pengolahan menjadi GKP seharusnya hanya dilakukan oleh BUMN. Lebih lanjut, PT PPI, seolah-olah membeli hasil olahan gula tersebut dari para tersangka. Realitanya, gula tersebut dijual ke pasar melalui distributor afiliasi dengan harga Rp16.000 per kilogram, jauh di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) saat itu yang sebesar Rp13.000 per kilogram. PT PPI sendiri mendapatkan komisi Rp105 per kilogram.
Persetujuan impor GKM untuk diolah menjadi GKP yang diberikan oleh mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong (TTL) atau Tom Lembong (juga tersangka), menjadi kunci permasalahan. Hal ini menyebabkan tujuan stabilisasi harga dan pemenuhan stok gula nasional melalui operasi pasar tidak tercapai. Akibatnya, negara mengalami kerugian yang signifikan.
Atas perbuatannya, para tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 junto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Kasus ini menyoroti pentingnya pengawasan ketat dalam impor dan distribusi komoditas penting seperti gula, untuk mencegah kerugian negara dan menjamin stabilitas harga di pasar. Kejagung menegaskan komitmennya untuk mengusut tuntas kasus ini dan membawa para pelaku ke meja hijau.