Kasus Korupsi Impor Gula: Tom Lembong Dilimpahkan ke Kejari Jakpus
Kejaksaan Agung melimpahkan Tom Lembong dan Charles Sitorus sebagai tersangka kasus korupsi impor gula tahun 2015-2016 yang mengakibatkan kerugian negara sekitar Rp400 miliar kepada Kejari Jakarta Pusat untuk disidangkan.

Jakarta, 14 Februari 2024 - Kejaksaan Agung (Kejagung) resmi melimpahkan barang bukti dan tersangka kasus korupsi impor gula tahun 2015-2016 kepada Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat (Kejari Jakpus). Dua tersangka utama yang dilimpahkan adalah mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong (Tom Lembong), dan Charles Sitorus, Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI).
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar, membenarkan pelimpahan tahap dua ini. Proses pelimpahan, yang berlangsung hari Jumat, menandai langkah selanjutnya dalam penanganan kasus yang telah menetapkan 11 tersangka.
Kronologi Kasus Korupsi Impor Gula
Kasus ini berawal dari persetujuan impor gula kristal mentah sebanyak 105.000 ton oleh Tom Lembong kepada PT AP pada tahun 2015. Persetujuan ini diberikan meskipun rapat koordinasi kementerian pada 12 Mei 2015 menyimpulkan Indonesia mengalami surplus gula dan tidak membutuhkan impor. Lebih lanjut, persetujuan tersebut tidak melalui rapat koordinasi dengan instansi terkait dan tanpa rekomendasi Kementerian Perindustrian.
Ironisnya, pada Desember 2015, rapat koordinasi bidang perekonomian justru membahas kekurangan gula kristal putih sebanyak 200.000 ton untuk stabilisasi harga dan stok nasional di tahun 2016. Kontradiksi ini menjadi salah satu poin penting dalam investigasi Kejagung.
Charles Sitorus, pada November-Desember 2015, melakukan pertemuan dengan delapan perusahaan gula swasta untuk membahas kerja sama impor gula kristal mentah. Pertemuan ini kemudian berujung pada penandatanganan surat penugasan oleh Tom Lembong pada Januari 2016 kepada PT PPI untuk memenuhi stok gula nasional dan stabilisasi harga melalui kerja sama dengan produsen gula dalam negeri.
Kejagung menyoroti adanya ketidaksesuaian prosedur. Seharusnya, untuk pemenuhan stok gula dan stabilisasi harga, impor gula kristal putih dilakukan langsung oleh BUMN, yaitu PT PPI. Namun, dengan sepengetahuan dan persetujuan Tom Lembong, impor gula kristal mentah justru disetujui. Delapan perusahaan swasta yang ditugaskan mengolah gula kristal mentah tersebut hanya memiliki izin memproduksi gula rafinasi.
Kerugian Negara dan Tindakan Hukum Selanjutnya
Gula kristal putih hasil produksi delapan perusahaan swasta tersebut dijual dengan harga lebih tinggi dari Harga Eceran Tertinggi (HET), tanpa melalui operasi pasar. PT PPI mendapatkan upah dari proses ini. Akibat praktik tersebut, negara mengalami kerugian sekitar Rp400 miliar, yaitu keuntungan yang seharusnya menjadi milik BUMN atau PT PPI.
Dengan dilimpahkannya berkas perkara ke Kejari Jakpus, tahap selanjutnya adalah penyusunan surat dakwaan oleh tim penuntut umum. Setelah itu, berkas perkara akan dilimpahkan ke pengadilan untuk proses persidangan. Publik kini menantikan perkembangan selanjutnya dari kasus korupsi impor gula ini dan berharap keadilan ditegakkan.
Kasus ini menyoroti pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengambilan keputusan di pemerintahan, khususnya yang berkaitan dengan kebijakan impor dan pengelolaan komoditas strategis seperti gula. Semoga kasus ini menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak agar kejadian serupa tidak terulang di masa mendatang.