Kode Merah Industri Tekstil: PHK Massal Ancam Ekonomi Nasional
Ribuan pekerja tekstil terancam PHK massal akibat lesunya industri dan produk impor murah; pemerintah perlu intervensi segera.

Industri tekstil dan garmen Indonesia tengah menghadapi krisis serius. Penutupan pabrik dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal terjadi secara signifikan, mengancam perekonomian nasional dan kesejahteraan ribuan pekerja. Krisis ini terjadi karena berbagai faktor, termasuk produk impor murah yang membanjiri pasar domestik dan kurangnya perlindungan pemerintah terhadap industri dalam negeri.
Pada Januari 2023 hingga Januari 2025, setidaknya 61 pabrik tekstil telah tutup atau berhenti beroperasi, mem-PHK ribuan karyawan di Banten, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. PT Sritex dan pabrik piano Yamaha hanyalah beberapa contoh besar dari perusahaan yang mengalami kesulitan. Ketua Umum APSYFI, Redma Gita Wirawasta, mengkonfirmasi data ini dan menyerukan intervensi pemerintah untuk mengatasi masalah impor yang merugikan industri domestik. Ribuan pekerja kehilangan pekerjaan, dan ribuan lainnya menghadapi ketidakpastian ekonomi.
Industri tekstil, yang selama ini menjadi salah satu penyerap tenaga kerja terbesar dan penyumbang signifikan terhadap perekonomian Indonesia, kini terancam kolaps. Kondisi ini diperparah oleh lemahnya daya beli masyarakat yang cenderung memilih produk impor murah, dan kurangnya dukungan pemerintah berupa regulasi yang protektif dan insentif yang memadai. Dibandingkan negara lain seperti China, Vietnam, dan Bangladesh yang memberikan subsidi dan insentif besar kepada industri tekstil mereka, Indonesia masih tertinggal dalam memberikan perlindungan.
Ancaman PHK Massal dan Dampaknya
Gelombang PHK di industri tekstil menimbulkan dampak sosial dan ekonomi yang serius. Ribuan keluarga kehilangan mata pencaharian, dan hal ini dapat memicu masalah sosial yang lebih luas. Selain itu, penutupan pabrik juga berdampak pada perekonomian nasional, mengurangi pendapatan negara dan mengurangi daya saing Indonesia di pasar global. Pemerintah perlu mengambil langkah cepat dan tepat untuk mencegah kehancuran total industri tekstil nasional.
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Chusnunia Chalim, menekankan perlunya langkah konkret dari pemerintah untuk menyelamatkan industri padat karya ini. Kebijakan yang berpihak pada industri tekstil dalam negeri sangat dibutuhkan, termasuk pengendalian impor yang lebih ketat dan strategi mitigasi yang efektif. Harga produk tekstil impor yang lebih murah, baik legal maupun ilegal, membuat produk lokal sulit bersaing.
Industri dalam negeri juga menghadapi berbagai tantangan, seperti biaya produksi yang tinggi, ketergantungan pada bahan baku impor, dan regulasi yang belum berpihak. Penegakan hukum terhadap impor ilegal juga perlu diperketat untuk mencegah persaingan yang tidak sehat. Perusahaan tekstil yang masih bertahan harus menghadapi pilihan sulit: bertahan dengan segala keterbatasan atau menutup usaha dan merelokasi produksi ke negara lain.
Solusi dan Intervensi Pemerintah
Untuk mengatasi krisis ini, pemerintah perlu melakukan intervensi cepat dan tepat. Langkah-langkah yang dapat diambil meliputi penerapan kembali safeguard untuk membatasi impor tekstil, pemberian insentif bagi industri tekstil lokal (subsidi energi dan akses pembiayaan murah), kebijakan yang mendorong inovasi dan efisiensi produksi, dan kampanye nasional untuk mendorong konsumsi produk dalam negeri.
Penegakan hukum terhadap impor ilegal juga harus diperketat. Semua pihak, termasuk pemerintah, pengusaha, dan masyarakat, perlu bekerja sama untuk menyelamatkan industri tekstil nasional. Kesadaran konsumen untuk membeli produk lokal juga sangat penting, tidak hanya dari sisi ekonomi, tetapi juga untuk menjaga ketahanan industri nasional. Ini bukan hanya masalah sektoral, tetapi juga persoalan nasional yang berdampak luas.
Jika tidak ada tindakan cepat dan tepat, Indonesia berisiko kehilangan salah satu sektor industri strategisnya dan bergantung sepenuhnya pada impor tekstil. Keputusan untuk bertindak atau tidak akan menentukan masa depan industri tekstil dan jutaan pekerja yang bergantung padanya. Saatnya merespons kode merah dari industri tekstil nasional dengan langkah-langkah konkret dan komprehensif.
"Pemerintah memerlukan langkah strategis demi mencegah pemutusan hubungan kerja besar di sektor industri padat karya," kata Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Timboel Siregar, menekankan urgensi intervensi pemerintah.