Komisi III DPR Undang Insan Pers Bahas Aturan Siaran Persidangan RKUHAP
Komisi III DPR akan mengundang Dewan Pers, PWI, AJI, dan Forum Pemred pada 8 April 2025 untuk membahas aturan siaran persidangan dalam RKUHAP, khususnya terkait larangan siaran langsung pemeriksaan saksi.

Jakarta, 27 Maret 2025 - Komisi III DPR RI berencana mengundang perwakilan media massa dan insan pers untuk membahas aturan penyiaran persidangan dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang baru. Audiensi ini dijadwalkan pada 8 April 2025 mendatang, setelah masa reses DPR RI berakhir. Pembahasan difokuskan pada aturan kontroversial yang melarang siaran langsung persidangan tanpa izin pengadilan.
Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menjelaskan bahwa undangan tersebut ditujukan kepada Dewan Pers, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan Forum Pemred. Tujuannya adalah untuk mendapatkan masukan terkait formulasi aturan yang tepat dan seimbang, sehingga dapat mengakomodasi kepentingan publik dan integritas proses peradilan.
"Terkait dengan liputan persidangan, kami akan undang Dewan Pers, PWI, AJI, dan Forum Pemred pada tanggal 8 April setelah Lebaran. Khusus membahas hal itu, bagaimana pengaturan yang paling baik," ujar Habiburokhman di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
Aturan Siaran Langsung Persidangan dalam RKUHAP
Draf RKUHAP memuat aturan yang melarang siaran langsung persidangan tanpa izin pengadilan. Aturan ini, menurut Habiburokhman, dikhususkan untuk agenda pemeriksaan saksi. Alasannya, pemeriksaan saksi yang disiarkan langsung berpotensi memengaruhi kesaksian para saksi lainnya.
"Kami paham teman-teman menjalankan tugas untuk memberitahukan kepada masyarakat. Akan tetapi, ada beberapa acara di pengadilan dalam persidangan pidana yang memang enggak bisa disiarkan, yang paling penting adalah pemeriksaan saksi karena saksi itu 'kan keterkaitan, enggak boleh saling mendengar," jelasnya.
Habiburokhman menegaskan bahwa larangan ini bersifat spesifik dan hanya berlaku pada pemeriksaan saksi. Proses persidangan lainnya, seperti pembacaan dakwaan, eksepsi, tuntutan, dan vonis, tetap dapat disiarkan secara terbuka.
"Persidangan, khusus untuk pemeriksaan saksi yang ada kaitan satu sama lain, ya mungkin itu pemberitaannya bisa setelah selesai. Itu yang memang perlu disiasatinya. Apakah yang enggak bisa disiarkan secara live, itu hanya terkait dengan pemeriksaan saksi. Jadi, spesifik," tambahnya.
Dukungan dari Peradi SAI
Sebelumnya, Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia Suara Advokat Indonesia (Peradi SAI), Juniver Girsang, telah mengusulkan agar RKUHAP menegaskan larangan penyiaran langsung persidangan tanpa izin pengadilan, khususnya untuk pemeriksaan saksi. Hal ini tertuang dalam Pasal 253 ayat (3) draf RKUHAP.
Juniver berpendapat bahwa siaran langsung pemeriksaan saksi dapat memengaruhi kesaksian, karena para saksi dapat saling mendengar dan memengaruhi jawaban mereka. Ia setuju dengan adanya larangan tersebut, namun dengan catatan hakim dapat memberikan izin siaran langsung dengan pertimbangan tertentu.
"Kenapa ini harus kami setuju? Karena orang dalam persidangan pidana kalau liputannya langsung, saksi-saksi bisa mendengar, bisa saling memengaruhi, bisa nyontek, itu kami setuju itu tidak disiarkan langsung. Bisa saja diizinkan hakim (disiarkan langsung), tentu ada pertimbangannya," kata Juniver dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi III DPR RI.
Menyeimbangkan Transparansi dan Integritas Peradilan
Komisi III DPR RI berupaya untuk menyeimbangkan prinsip transparansi persidangan dengan integritas proses peradilan. Audiensi dengan insan pers diharapkan dapat menghasilkan aturan yang adil dan bijaksana, yang melindungi hak publik untuk mendapatkan informasi sekaligus menjaga integritas proses hukum.
Habiburokhman menekankan bahwa persidangan perkara biasa seharusnya terbuka untuk umum, bahkan idealnya disiarkan secara live streaming, seperti rapat DPR. Namun, perlu ada pengaturan khusus untuk tahapan pemeriksaan saksi guna mencegah potensi manipulasi atau pengaruh antar saksi.
Dengan demikian, audiensi pada 8 April 2025 diharapkan dapat menghasilkan solusi yang komprehensif dan mengakomodasi semua pihak terkait.