Korupsi di Indonesia: Paradoks Kenaikan Kasus dan Rendahnya Indeks Persepsi
Kenaikan signifikan kasus korupsi di Indonesia pada 2025 menimbulkan paradoks, di satu sisi kinerja penindakan menurun, namun di sisi lain kasus mega korupsi diungkap Kejaksaan Agung, menunjukkan kompleksitas pemberantasan korupsi.

Tahun 2025 menandai peningkatan drastis kasus korupsi di Indonesia, dengan nilai kerugian negara yang fantastis. Fenomena ini memunculkan sarkasme "Liga Korupsi Indonesia," menjadi tantangan besar bagi pemerintah. Salah satu indikator keberhasilan pemberantasan korupsi adalah kinerja penindakan oleh KPK, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian, yang tercermin dari jumlah penyelidikan kasus.
Statistik menunjukkan penurunan drastis jumlah penyelidikan kasus korupsi di KPK pada 2024, dari 127 kasus di 2023 menjadi 73 kasus. Interpretasi atas data ini beragam; bisa jadi menunjukkan keberhasilan pencegahan korupsi, atau melemahnya kinerja KPK. Di sisi lain, Kejaksaan Agung menunjukkan peningkatan peran dalam mengungkap kasus mega korupsi, seperti kasus Jiwasraya (Rp16,81 triliun), ekspor CPO (Rp6 triliun), Duta Palma (Rp104 triliun), tata niaga timah (Rp300 triliun), dan tata kelola minyak mentah (Rp968,5 triliun).
Kerugian negara yang sangat besar ini menunjukkan kompleksitas masalah korupsi di Indonesia. Meskipun terlihat penurunan jumlah penyelidikan di KPK, jumlah kerugian negara justru meningkat secara signifikan. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran pola dan pelaku korupsi yang perlu dikaji lebih lanjut.
Komplikasi Korupsi di Indonesia
Salah satu benang merah dari berbagai skandal korupsi adalah perluasan rentang pelaku, tidak hanya dari birokrasi, tetapi juga dari pihak swasta. Berdasarkan statistik, penyuapan menjadi jenis perkara korupsi tertinggi, menunjukkan diversifikasi korupsi yang signifikan. Pertanyaan kunci adalah mengapa penyuapan meningkat drastis? Pola korupsi yang repetitif ini berakar pada keterlibatan multipolar antara pemangku kebijakan dan pelaku usaha.
Hubungan simetris antara kedua pihak ini menciptakan efek ganda: penyebaran perilaku koruptif dan dampak destruktif terhadap pembangunan. Suap sering dianggap sebagai perusak keadilan ekonomi. Ackerman (2006) menjelaskan suap sebagai insentif untuk menghindari keterlambatan perizinan atau mengurangi biaya dengan menghindari pajak. Tingkat suap bisnis di Indonesia masih tinggi, berada di urutan ke-66 dari 194 negara (Trace Matrix Country Rankings of Business Bribery Risk, 2024).
Dari sisi kelembagaan, praktik penyuapan menunjukkan masalah klasik pada lembaga publik, seperti regulasi tumpang tindih, korupsi, dan intransparansi. Meskipun peringkat daya saing Indonesia meningkat pada 2024, perlu keberlanjutan reformasi dan penguatan infrastruktur hukum (IMD World Competitiveness Rankings, 2024). Ini menjelaskan paradoks antara rendahnya indeks persepsi korupsi Indonesia (skor 37 dari 100, urutan ke-99 dari 180 negara) dan meningkatnya kasus korupsi (Transparency International, 2024).
Namun, sengkarut kelembagaan bukan satu-satunya penyebab. Keserakahan dan pengagungan hasrat kapitalistik, seperti terlihat dalam skandal Panama Papers, Paradise Papers, dan Pandora Papers, juga berperan. Menyalahkan hanya kelembagaan publik tanpa mempertimbangkan penyimpangan moral sektor swasta adalah tidak adil.
Paradoks Perluasan Definisi Korupsi
Perlu diapresiasi perluasan definisi perbuatan koruptif, terutama dengan dimasukkannya gratifikasi dalam UU Tipikor. Gratifikasi, sebagai "pemberian dalam arti luas," dapat dikategorikan sebagai suap jika berhubungan dengan jabatan dan bertentangan dengan kewajiban. Namun, perlu kajian lebih lanjut mengenai indikator, ukuran, dan implikasi penyuapan terhadap kerugian keuangan negara dan perekonomian nasional.
Masih ada pandangan yang menganggap korupsi memicu efisiensi dan pertumbuhan ekonomi (Leff, 1964; Huntington, 1968; Summers, 1977; Acemoglu dan Verdier, 1998). Studi ini fokus pada kinerja institusi pemerintah dan lamanya waktu tunggu pengurusan izin usaha. Sampai sekarang, belum jelas apakah ritus korupsi berawal dari kegagalan institusi atau motif ekonomi pelaku. Jumlah koruptor terus bertambah, sementara pemulihan aset tidak optimal.
Tantangan ke depan adalah kompleksitas pembangunan global dan relasi asimetris antara politik-hukum dengan ekonomi-perdagangan. Korupsi, terutama penyuapan, akan semakin canggih dan terorganisir. Kodifikasi praktik penyuapan antar sektor swasta masih pada level normatif.
Kesimpulannya, pemberantasan korupsi di Indonesia menghadapi paradoks yang kompleks. Penurunan jumlah penyelidikan di KPK diiringi dengan peningkatan kasus mega korupsi dan kerugian negara yang fantastis. Perlu pendekatan holistik yang mempertimbangkan faktor kelembagaan, moral, dan ekonomi untuk mengatasi masalah ini secara efektif.