KY Dalami Vonis Bebas Kasus Pencabulan Anak di Jayapura
Komisi Yudisial (KY) akan menyelidiki vonis bebas yang diberikan kepada terdakwa kasus pencabulan anak di Jayapura, setelah menerima laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

Komisi Yudisial (KY) menyatakan akan mendalami vonis bebas yang dijatuhkan Pengadilan Negeri (PN) Jayapura terhadap seorang aparat kepolisian berinisial AFH, terdakwa kasus dugaan pencabulan terhadap anak. Vonis tersebut diputuskan pada Kamis, 23 Januari 2025, dalam perkara Nomor 329/Pid.Sus/2024/PN Jap. Keputusan ini diambil oleh majelis hakim yang diketuai oleh Hakim Ketua Zaka Talpatty. Proses hukum ini melibatkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menuntut hukuman 12 tahun penjara dan denda bagi terdakwa.
Anggota KY, Mukti Fajar Nur Dewata, menjelaskan bahwa KY perlu menganalisis putusan tersebut secara menyeluruh, khususnya bagian pertimbangan hukum. Tujuannya adalah untuk memastikan apakah terdapat dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). Mukti mempertanyakan dasar hakim membebaskan terdakwa dengan alasan kurangnya saksi, seraya menanyakan apakah bukti lain seperti visum tidak diajukan JPU. "Dalam kasus pelecehan seksual, hakim perlu menggali fakta sebagai alat bukti lain," tegas Mukti.
KY telah menerima laporan dugaan pelanggaran KEPPH terhadap majelis hakim PN Jayapura pada 18 Maret 2025. Laporan tersebut, yang diterima oleh penghubung KY di Jayapura, Papua, akan diverifikasi kelengkapan administrasi dan substansi sebelum diregister. Proses verifikasi ini akan menentukan langkah selanjutnya yang akan diambil KY terkait dugaan pelanggaran etik tersebut.
Vonis Bebas dan Reaksi KY
Majelis hakim PN Jayapura menyatakan terdakwa AFH tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan oleh penuntut umum. Amar putusan tersebut berbunyi: "Menyatakan Terdakwa AFH tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan penuntut umum dalam dakwaan alternatif kesatu maupun dakwaan alternatif kedua." Hal ini menimbulkan reaksi dari berbagai pihak, termasuk KY, yang menilai perlu adanya penyelidikan lebih lanjut.
JPU sebelumnya menuntut AFH dengan hukuman 12 tahun penjara dikurangi masa tahanan dan denda Rp200.000.000, subsider 6 bulan penjara. AFH didakwa melanggar Pasal 76E Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak junto Pasal 82 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang. Dakwaan tersebut menyatakan AFH melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.
Perbedaan antara tuntutan JPU dan putusan hakim menjadi sorotan utama. KY akan meneliti secara saksama pertimbangan hukum yang digunakan majelis hakim dalam mengambil keputusan tersebut. Proses ini diharapkan dapat memberikan kejelasan dan memastikan akuntabilitas dalam proses peradilan.
Proses Penyelidikan KY
KY akan melakukan penyelidikan menyeluruh terhadap putusan tersebut. Mereka akan memeriksa semua bukti dan dokumen yang relevan untuk menentukan apakah ada pelanggaran etik yang dilakukan oleh majelis hakim. Proses ini akan melibatkan pengumpulan informasi, wawancara, dan analisis hukum yang mendalam.
Hasil penyelidikan KY akan menentukan langkah selanjutnya. Jika ditemukan pelanggaran etik, KY dapat memberikan rekomendasi kepada Dewan Pertimbangan Kehormatan (DKK) untuk menjatuhkan sanksi kepada hakim yang bersangkutan. Sanksi yang diberikan dapat berupa teguran, peringatan, hingga pemberhentian dari jabatan. Proses ini menunjukan komitmen KY untuk menjaga integritas dan profesionalitas hakim di Indonesia.
Kasus ini menyoroti pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam sistem peradilan. KY berperan penting dalam mengawasi kinerja hakim dan memastikan keadilan ditegakkan. Hasil penyelidikan KY diharapkan dapat memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi korban dan masyarakat.
Proses hukum ini masih terus berlanjut dan KY akan terus memantau perkembangannya. Publik menunggu hasil penyelidikan KY untuk mengetahui apakah ada pelanggaran etik yang terjadi dalam kasus ini.