Mahasiswa Tolak Pasal Pencemaran Nama Baik di UU ITE, Minta MK Cabut Aturan
Sebelas mahasiswa Universitas Andalas ajukan uji materi ke MK, minta pasal soal penyebaran kebencian di UU ITE dicabut karena dinilai ambigu dan berpotensi diskriminatif.

Sebelas mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Pasal 28 Ayat (2) dan Pasal 45A Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Mereka menilai pasal tersebut, yang mengatur tentang penyebaran informasi yang menimbulkan kebencian atau permusuhan, ambigu dan berpotensi menimbulkan penyalahgunaan hukum. Permohonan tersebut didaftarkan pada Senin, 17 Maret 2024, dengan nomor register 187/PUU-XXII/2024.
Para mahasiswa, yang diwakili oleh Muhammad Zhafran Hibrizi, berpendapat bahwa frasa "rasa kebencian atau permusuhan" dan "masyarakat tertentu" dalam pasal tersebut tidak memiliki parameter yang jelas. Hal ini, menurut mereka, menyebabkan pasal tersebut rentan terhadap penafsiran yang berbeda-beda dan berpotensi merugikan masyarakat. Mereka meminta MK untuk menyatakan pasal tersebut inkonstitusional dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Sidang perbaikan permohonan telah digelar di MK pada Senin lalu. Dalam permohonannya, para mahasiswa menjelaskan kekhawatiran mereka terhadap pasal tersebut yang dapat membatasi kebebasan berekspresi dan berpotensi digunakan untuk membungkam kritik. Mereka menekankan pentingnya adanya kepastian hukum dan keadilan dalam penerapan UU ITE.
Mahasiswa Pertanyakan Kejelasan Parameter Pasal dalam UU ITE
Salah satu poin utama keberatan para mahasiswa adalah ketidakjelasan parameter "rasa kebencian atau permusuhan." Mereka berargumentasi bahwa ukuran kebencian dan permusuhan bersifat abstrak dan tidak dapat diukur secara kuantitatif, berbeda dengan kerugian materiil yang dapat dihitung secara pasti. Mereka memberikan contoh bagaimana dampak dari penyebaran informasi yang dianggap menghasut dapat berbeda-beda pada setiap individu.
Lebih lanjut, mereka menjelaskan bahwa ketidakjelasan ini dapat menyebabkan perbedaan tafsir yang signifikan di lapangan, sehingga berpotensi menimbulkan ketidakadilan. "Bisa jadi korban A merasakan kerugian tersebut dikarenakan menimbulkan rasa benci atau permusuhan oleh orang lain terhadap dirinya dikarenakan informasi yang tersebar, sedangkan korban B tidak merasakan hal tersebut dan terlihat biasa saja," demikian argumentasi para pemohon.
Para mahasiswa juga menyoroti frasa "masyarakat tertentu." Mereka berpendapat bahwa frasa ini tidak memberikan batasan yang jelas, sehingga berpotensi menimbulkan interpretasi yang diskriminatif terhadap kelompok atau individu tertentu. Ketidakjelasan ini, menurut mereka, membuka peluang penyalahgunaan pasal tersebut untuk membungkam kritik terhadap kelompok sosial tertentu.
Potensi Diskriminasi dan Batasan Kebebasan Berekspresi
Para pemohon khawatir pasal tersebut dapat digunakan untuk membatasi kebebasan berekspresi dan berpotensi menimbulkan diskriminasi. Mereka menekankan pentingnya perlindungan kebebasan berekspresi sebagai hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi. Pasal yang ambigu, menurut mereka, justru dapat menghambat kebebasan ini dan menciptakan iklim yang tidak kondusif bagi perkembangan demokrasi.
Mahasiswa Universitas Andalas ini berpendapat bahwa pasal yang mereka pertanyakan bertentangan dengan Pasal 28E Ayat (3) dan Pasal 28D Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang menjamin hak asasi manusia dan kebebasan berekspresi. Mereka berharap MK dapat memberikan putusan yang adil dan melindungi hak-hak konstitusional warga negara.
Sebagai alternatif, para pemohon juga meminta MK untuk menyatakan frasa "masyarakat tertentu" atau frasa "kebencian dan permusuhan" inkonstitusional sepanjang tidak diberikan penjelasan lebih lanjut. Mereka berharap MK dapat memberikan interpretasi yang lebih jelas dan melindungi hak-hak warga negara.
Kesimpulan
Permohonan uji materi ini menjadi sorotan penting dalam konteks penegakan hukum di Indonesia. Kasus ini menyoroti pentingnya kejelasan dan kepastian hukum dalam regulasi, khususnya terkait pembatasan kebebasan berekspresi. Hasil putusan MK nantinya akan sangat berpengaruh terhadap implementasi UU ITE dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia.