Masyarakat Madura Lestarikan Tradisi Tellasan Katopa': Perayaan Ketupat yang Kaya Makna
Tradisi Tellasan Katopa', perayaan ketupat khas Madura setelah Lebaran, tetap lestari dan menjadi pengikat silaturahmi serta kekayaan budaya lokal yang perlu dilestarikan.

Pada Jumat malam, 4 April 2025, di Dusun Petang, Desa Lancar, Pamekasan, Madura, sejumlah perempuan berkumpul untuk menganyam daun kelapa dan siwalan menjadi selongsong ketupat. Mereka mempersiapkan Tellasan Katopa', Lebaran Ketupat, yang dirayakan sepekan setelah Idul Fitri. Perayaan ini melibatkan seluruh keluarga, dengan para perempuan menganyam ketupat sambil berbincang, dan kaum laki-laki berkumpul menikmati kopi dan jajanan.
Tellasan Katopa' merupakan tradisi turun-temurun yang telah berlangsung selama ratusan tahun, bahkan mungkin sekitar 500 tahun. Tradisi ini unik karena tidak terkait langsung dengan ajaran agama Islam, meskipun tetap dirayakan oleh masyarakat Madura yang taat beragama. Ketupat, sebagai makanan utama, dihidangkan bersama soto ayam, meskipun kini juga mulai diadaptasi dengan opor ayam.
Perayaan ini memiliki nilai sosial yang tinggi karena melibatkan tradisi saling berbagi antartetangga dan kerabat. Tradisi saling mengunjungi dan bermaaf-maafan yang dimulai pada Idul Fitri berlanjut hingga Tellasan Katopa', yang juga disebut Tellasan Petto' (tujuh) karena jatuh pada hari ketujuh setelah Idul Fitri. Tradisi ini juga menjadi momen bagi warga Madura perantauan untuk pulang kampung dan mempererat tali silaturahmi.
Tradisi Tellasan Katopa' dan Maknanya
Meskipun asal-usul Tellasan Katopa' tidak terdokumentasi secara pasti, beberapa sesepuh Madura menjelaskan bahwa perayaan ini merupakan ungkapan kegembiraan setelah menjalankan puasa sunah Syawal selama enam hari. Tradisi ini terbuka bagi semua, termasuk mereka yang tidak menjalankan puasa sunah tersebut. Selain perayaan, Tellasan Katopa' juga memiliki nilai sosial yang kuat karena tradisi saling berbagi makanan.
Ada pula yang mengaitkan tradisi ketupat dengan Sunan Bonang, salah satu Wali Songo, yang memperkenalkan ketupat sebagai simbol syukur dan memiliki makna filosofis: laku sing papat (amalan yang empat), yaitu lebar (selesai puasa), lebur (dosa terhapus), luber (limpah pahala), dan labur (suci). Namun, di Madura, ketupat diimplementasikan dalam konteks perayaan pasca-puasa Syawal.
Di Madura, saat Lebaran, hidangan utama bukanlah ketupat, melainkan nasi dengan lauk pauk seperti daging sapi, kambing, atau ayam. Hal ini menunjukkan adaptasi dan kreativitas masyarakat Madura dalam memaknai tradisi.
Tellasan Katopa' juga menjadi momen bagi warga Madura perantauan untuk pulang kampung.
Potensi Wisata Tellasan Katopa'
Tellasan Katopa' merupakan kekayaan budaya Madura yang berpotensi besar untuk dikembangkan sebagai objek wisata. Kabupaten Sumenep telah sukses menggelar Festival Ketupat, menampilkan berbagai kreasi ketupat unik seperti katopa' jheren (ketupat kuda), katopa' toju' (ketupat duduk), dan lainnya. Festival ini digelar di objek wisata pantai, seperti Pantai Lombang dan Pantai Slopeng.
Pemerintah daerah lain di Madura, seperti Bangkalan, Sampang, dan Pamekasan, dapat mencontoh Sumenep dengan menggelar festival serupa, baik secara mandiri maupun kolaboratif, untuk menarik wisatawan dan mempromosikan kekayaan budaya lokal.
Dengan demikian, Tellasan Katopa' tidak hanya menjadi tradisi lokal yang lestari, tetapi juga berpotensi menjadi daya tarik wisata yang mampu meningkatkan perekonomian daerah.
Kesimpulan: Tellasan Katopa' merupakan tradisi unik dan berharga bagi masyarakat Madura, yang kaya akan makna sosial dan budaya. Pelestarian dan pengembangan tradisi ini sebagai objek wisata berpotensi besar untuk meningkatkan perekonomian dan mempromosikan kekayaan budaya Madura kepada dunia.