Menyelamatkan Bahasa Namblong Papua dari Kepunahan
Upaya pelestarian bahasa Namblong di Papua dilakukan melalui sekolah adat dan metode unik, menghadapi tantangan hilangnya penutur akibat kebijakan masa lalu dan dominasi bahasa Indonesia.

Vebriani Hembring, 24 tahun, dari Lembah Grime Nawa, Papua, bertekad melestarikan bahasa dan budaya suku Namblong di Distrik Nimboran, Kabupaten Jayapura. Baginya, menjaga bahasa Namblong berarti menyelamatkan identitas suku tersebut dari kepunahan. "Mungkin di tahun 2030, bahasa Namblong sudah tidak ada lagi. Saat ini, hanya 20 persen populasi suku kami yang masih menggunakannya, dan mereka kebanyakan lansia," ujarnya dalam diskusi di Pusat Belajar Komunitas Injo Yamo, 9 Februari 2025.
Sekolah Adat dan Upaya Kreatif
Injo Yamo, yang berarti 'sekolah budaya' dalam bahasa Indonesia, merupakan sekolah non-formal yang diprakarsai oleh Organisasi Perempuan Adat Suku Namblong (ORPA) di bawah bimbingan Rosita Tecuari (42 tahun). Sekolah yang berlokasi di Kampung Adat Benyom ini memiliki 40 siswa berusia 4-15 tahun. Sekolah ini menjadi jembatan antar generasi untuk meneruskan kekayaan budaya kepada generasi muda.
Vebriani Hembring menggunakan metode unik untuk mengajarkan bahasa Namblong, salah satunya melalui pembuatan noken (tas tradisional Papua). Proses pembuatan noken dari serat anggrek melibatkan banyak kosakata Namblong yang dapat dipelajari anak-anak muda. "Saat membuat noken, kita bisa belajar bahasa, mulai dari pemilihan bahan hingga simpul ikatan noken," jelasnya. Selain noken, bahasa Namblong juga diajarkan melalui puisi dan lagu, seperti lagu Nyanyian Burung Cendrawasih yang dinyanyikan Vebriani.
Liriknya berbunyi: Yu ngali nombe sip
Kande map ho notadetum
Nombe sup
Nombe imum pong de takwap tnag
Nombe nmbuo tasing de
O yu ngali sya pliptyatam. Lirik tersebut berarti: "Di manakah burung Cendrawasih berada, yang keindahannya mempesona, yang tatapannya indah, yang suaranya terdengar, burung Cendrawasih."
Dampak Operasi Daerah Militer (DOM)
Rosita Tecuari, atau Mama Rosita, guru di Injo Yamo, menjelaskan bahwa kebijakan Operasi Daerah Militer (DOM) di Papua (1978-1998) turut menyebabkan penurunan jumlah penutur bahasa Namblong. Suasana penuh ketakutan memaksa banyak orang meninggalkan bahasa daerah mereka dan beralih ke bahasa Indonesia untuk bertahan hidup. "Selama DOM, orangtua yang tidak bisa berbahasa Indonesia dipaksa menggunakan bahasa Indonesia. Jika tidak, mereka dipukuli dengan popor senjata. Jadi bagaimana mereka bisa mengajarkan bahasa adat kita kepada anak-anak mereka?" katanya.
Dominasi bahasa Indonesia dalam kebijakan asimilasi dan pendidikan menyebabkan penurunan drastis penutur bahasa Namblong. Generasi muda lebih fasih berbahasa Indonesia atau bahasa daerah lain daripada bahasa ibu mereka sendiri. Mama Rosita menambahkan bahwa generasi yang lahir di tahun 80-an masih memahami bahasa Namblong, tetapi tidak dapat menggunakannya secara aktif. Pada awal tahun 2000-an, pengaruh bahasa lain semakin kuat, bahkan banyak anak muda lebih familiar dengan bahasa Jawa akibat transmigrasi dan interaksi sosial yang lebih luas.
Ancaman Kepunahan dan Upaya Pelestarian
Kini, dengan perkembangan wilayah dan masuknya penduduk transmigrasi, keberadaan suku Namblong semakin sulit dilacak. Data pasti jumlah penutur bahasa Namblong saat ini belum tersedia. Mama Rosita mencatat bahwa suku Namblong tersebar di 32 kampung di tiga distrik, tetapi jumlah kampung yang masih menuturkan bahasa Namblong semakin berkurang. Tidak hanya Namblong, banyak bahasa daerah di Papua yang terancam punah. Berdasarkan penelitian Pusat Bahasa Papua (2006-2019), empat bahasa daerah telah dinyatakan punah: Tandia, Air Matoa, Mapia, dan Mawes (Distrik Sarmi).
Pusat Bahasa Papua, bekerja sama dengan penutur bahasa adat, telah menyiapkan buku teks bahasa Namblong agar anak-anak dapat belajar bahasa ibu sejak dini. Buku ini, yang disusun pada tahun 2013 dengan bantuan ahli bahasa Australia, telah diperkenalkan di beberapa sekolah, seperti Sekolah PAUD Tab Byab dan Sekolah Dasar Inpres Imsar. Namun, keterbatasan jumlah buku teks menjadi kendala. Pemerintah daerah perlu mencetak buku dalam jumlah cukup dan melibatkan penutur asli agar pengajaran bahasa daerah dapat efektif. Tanpa langkah konkret, lebih banyak bahasa daerah di Papua akan punah. Dukungan pemerintah, akademisi, dan masyarakat sangat dibutuhkan untuk menjaga kelangsungan bahasa daerah dan meneruskannya kepada generasi mendatang.