Balai Bahasa Maluku Utara Revitalisasi 8 Bahasa Daerah Terancam Punah
Balai Bahasa Maluku Utara akan merevitalisasi delapan bahasa daerah yang terancam punah pada 2025, termasuk bahasa Ibo yang hanya memiliki satu penutur.

Balai Bahasa Maluku Utara (Malut) akan merevitalisasi delapan bahasa daerah di provinsi tersebut guna mencegah kepunahan bahasa ibu. Hal ini diungkapkan oleh Kepala Balai Bahasa Malut, Arie Andrasyah Isa, di Ternate pada Selasa, 25 Februari. Revitalisasi ini menjadi langkah penting dalam menjaga identitas budaya Maluku Utara di tengah arus globalisasi.
Salah satu bahasa yang menjadi fokus revitalisasi adalah bahasa Ibo di Halmahera Barat, yang kini hanya memiliki satu penutur. Selain bahasa Ibo, tujuh bahasa daerah lainnya juga mengalami penurunan jumlah penutur dan terancam punah, yaitu bahasa Ternate, Tobelo, Makean Dalam, Sula, Sahu, Buli, Bacan, dan Makean Luar. Program revitalisasi ini direncanakan akan dilaksanakan pada tahun 2025.
Langkah revitalisasi ini bukannya tanpa dasar. Balai Bahasa Malut telah gencar melakukan revitalisasi bahasa daerah dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun lalu, enam bahasa telah direvitalisasi, dan tahun ini, revitalisasi diperluas dengan menambahkan bahasa Bacan dan Makean Luar. Selain itu, Balai Bahasa Malut juga telah menyusun empat kamus bahasa daerah untuk mendukung pelestarian bahasa-bahasa tersebut.
Upaya Revitalisasi dan Tantangannya
Penurunan jumlah penutur bahasa daerah di Maluku Utara disebabkan oleh berkurangnya penggunaan bahasa ibu di kalangan generasi muda, khususnya mereka yang berusia di bawah 30 tahun. Salah satu faktor penyebabnya adalah perkawinan silang antar suku, yang menyebabkan anak-anak cenderung menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa komunikasi utama dalam keluarga.
Meskipun demikian, terdapat perbedaan tingkat keberhasilan pelestarian bahasa daerah. Bahasa Sula, misalnya, masih relatif terjaga karena anak-anak di wilayah tersebut masih diajarkan bahasa ibu dalam lingkungan keluarga. Sebaliknya, pelestarian bahasa Ternate menghadapi tantangan besar, terutama di wilayah Ternate Tengah dan Selatan yang banyak dihuni oleh pendatang.
Tantangan ini juga berdampak pada pengajaran bahasa Ternate di sekolah-sekolah dasar setempat. Rendahnya penggunaan bahasa Ternate di lingkungan keluarga dan sekolah menjadi faktor utama yang menyebabkan bahasa ini terancam punah. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya yang lebih intensif untuk membudayakan penggunaan bahasa Ternate di kalangan generasi muda.
Kerja Sama dan Perda Pelestarian Bahasa
Balai Bahasa Malut menyadari pentingnya keseriusan dalam merevitalisasi bahasa daerah. Mereka menekankan bahwa delapan bahasa yang saat ini dalam proses revitalisasi terancam punah jika tidak ada upaya nyata dan berkelanjutan. Untuk itu, Balai Bahasa Malut terus berkoordinasi dengan pemerintah provinsi (pemprov) dan pemerintah kabupaten/kota.
Meskipun Pemprov Malut telah memiliki Peraturan Daerah (Perda) tentang Pelestarian Bahasa Daerah sejak 2009, implementasinya belum maksimal. Balai Bahasa Malut akan berkoordinasi lebih lanjut dengan gubernur baru agar ada instruksi tegas kepada pemerintah daerah di setiap wilayah untuk membudayakan penggunaan bahasa daerah.
Kerja sama yang erat antara Balai Bahasa Malut, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota sangat penting untuk keberhasilan program revitalisasi ini. Upaya ini diharapkan dapat menghidupkan kembali bahasa-bahasa daerah yang terancam punah dan melestarikan kekayaan budaya Maluku Utara.
'Kami akan berkoordinasi lebih lanjut dengan gubernur baru, agar ada instruksi tegas kepada pemda di setiap wilayah untuk membudayakan penggunaan bahasa daerah,' ujar Arie Andrasyah Isa.
Revitalisasi bahasa daerah ini tidak hanya sekadar pelestarian bahasa, tetapi juga upaya untuk menjaga identitas budaya Maluku Utara dan warisan leluhur bagi generasi mendatang. Keberhasilan program ini bergantung pada komitmen semua pihak yang terlibat, termasuk masyarakat Maluku Utara sendiri.