MK Putuskan: Keberadaan Kompolnas Tidak Bertentangan dengan UUD 1945, Mengapa Demikian?
Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan Konstitusionalitas Kompolnas, menyatakan keberadaannya sah dan tidak inkonstitusional meskipun tidak disebut dalam UUD 1945.

Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan putusan penting terkait Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Lembaga ini secara resmi dinyatakan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Keputusan ini mengukuhkan posisi Kompolnas dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Putusan ini disampaikan oleh Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah di Jakarta pada Rabu lalu, melalui Putusan Nomor 103/PUU-XXIII/2025. Mahkamah menolak permohonan uji konstitusionalitas yang diajukan oleh beberapa pihak, menegaskan bahwa pembentukan Kompolnas melalui keputusan Presiden adalah sah.
Para pemohon sebelumnya berpendapat bahwa Pasal 37 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri mengandung ketidakjelasan norma. Namun, MK menilai rumusan pasal tersebut sudah terang dan mudah dipahami. Keputusan ini memberikan kepastian hukum bagi keberadaan Kompolnas.
Dasar Pertimbangan MK Mengenai Konstitusionalitas Kompolnas
Mahkamah Konstitusi secara tegas menjelaskan dasar pertimbangan di balik putusannya. Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah menyatakan bahwa Kompolnas, meskipun tidak secara eksplisit disebut dalam UUD NRI Tahun 1945, tidak otomatis menjadi inkonstitusional. Ini merupakan poin krusial dalam memahami keputusan MK.
Menurut Mahkamah, inkonstitusionalitas dimaknai sebagai kondisi di mana suatu norma undang-undang bertentangan dengan UUD 1945. Kompolnas sebagai nama lembaga itu sendiri, sulit dikatakan memiliki persinggungan langsung dengan kondisi inkonstitusional atau konstitusional. Penilaian tidak bisa hanya dari kinerja yang dianggap tidak maksimal.
MK menambahkan bahwa konstitusionalitas suatu lembaga perlu dikaitkan dengan beberapa faktor penting. Faktor-faktor tersebut meliputi posisi lembaga dalam struktur sistem kenegaraan, sifat, fungsi atau tugas, serta prosedur yang dimilikinya. Mahkamah tidak menemukan uraian detail dari pemohon terkait faktor-faktor ini.
Oleh karena itu, MK berpandangan bahwa kewenangan pembentukan suatu lembaga tertentu sepenuhnya berada pada pembentuk undang-undang. Relevansi dan kebutuhan akan lembaga tersebut merupakan diskresi legislatif. Putusan ini memperkuat peran DPR dan Pemerintah dalam membentuk badan-badan negara.
Latar Belakang Permohonan Uji Konstitusionalitas Kompolnas
Permohonan uji konstitusionalitas terhadap Kompolnas diajukan oleh tiga individu. Mereka adalah advokat Syamsul Jahidin, ibu rumah tangga Ernawati, dan karyawan swasta Cindy Allyssa. Masing-masing pemohon memiliki latar belakang dan alasan tersendiri dalam mengajukan permohonan ini.
Ernawati menduga kakaknya dibunuh oleh aparat, sementara Cindy Allyssa mengaku aduannya tidak ditindaklanjuti secara profesional oleh Kompolnas. Pengalaman pribadi ini mendorong mereka untuk mempertanyakan keberadaan dan efektivitas Kompolnas. Mereka merasa lembaga tersebut tidak menjalankan fungsinya dengan baik.
Para pemohon secara spesifik menguji konstitusionalitas Pasal 37 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri. Pasal tersebut mengatur pembentukan Kompolnas melalui Keputusan Presiden. Mereka berargumen bahwa norma dalam pasal ini memiliki kekaburan atau ketidakjelasan yang dapat menimbulkan multitafsir.
Namun, Mahkamah Konstitusi memiliki pandangan berbeda terkait argumen ini. MK menyatakan bahwa rumusan norma Pasal 37 ayat (2) UU 2/2002 sudah sangat jelas dan terang. Mahkamah tidak menemukan adanya ketidakjelasan yang dapat mengakibatkan makna tidak dapat dipahami, sehingga permohonan ditolak.