MK Tetapkan Syarat Penggantian Caleg Terpilih: Hanya untuk Tugas Negara
Mahkamah Konstitusi (MK) memberi batasan baru terkait penggantian caleg terpilih, hanya diizinkan jika mengundurkan diri untuk tugas negara yang tidak melalui pemilihan umum.

Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini membuat keputusan penting yang membatasi penggantian calon anggota legislatif (caleg) terpilih. Keputusan ini diambil setelah menguji Pasal 426 ayat (2) Huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Putusan ini memberikan batasan tegas terkait alasan pengunduran diri caleg terpilih, yang sebelumnya menimbulkan ketidakpastian hukum.
Perkara ini diuji oleh tiga mahasiswa dari UIN Sayyid Ali Rahmatullah, Tulungagung, Jawa Timur, yang merasa hak konstitusional mereka dirugikan karena caleg terpilih di daerah mereka mengundurkan diri tanpa alasan yang jelas. Mereka mempersoalkan pasal yang sebelumnya berbunyi: 'Penggantian calon terpilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilakukan apabila calon terpilih yang bersangkutan: b. mengundurkan diri.'
Ketua MK, Suhartoyo, membacakan amar putusan yang menyatakan Pasal 426 ayat (1) huruf b UU Pemilu bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat. Putusan ini menambahkan syarat bahwa pengunduran diri tersebut haruslah "mengundurkan diri karena mendapat penugasan dari negara untuk menduduki jabatan yang tidak melalui pemilihan umum".
Penjelasan Putusan MK
Wakil Ketua MK, Saldi Isra, menjelaskan bahwa ketidakjelasan norma dalam pasal tersebut menjadi akar masalah. Ketidakjelasan ini tidak hanya mengenai syarat pengunduran diri, tetapi juga alasan yang dibenarkan. Hal ini menyebabkan proses pengunduran diri caleg terpilih mudah diproses tanpa mempertimbangkan alasannya.
MK menekankan bahwa kondisi tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan bagi pemilih. "Dengan demikian, menurut Mahkamah, demi menjaga prinsip kedaulatan rakyat yang diwujudkan melalui pemungutan suara langsung dalam pemilihan umum, pengunduran diri calon terpilih harus memiliki batasan yang jelas," tegas Saldi Isra.
Hakim Konstitusi Arsul Sani menambahkan bahwa MK memperhatikan fenomena caleg terpilih yang mengundurkan diri untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Hal ini, menurutnya, tidak hanya berdasarkan data dari pemohon, tetapi juga terkonfirmasi dalam pemeriksaan perkara sengketa Pemilu 2024.
Meskipun MK berpendapat bahwa hal tersebut melanggar hak konstitusional pemilih, mereka tidak melarang pengunduran diri. Namun, pengunduran diri hanya dibenarkan jika untuk menduduki jabatan yang tidak dipilih melalui pemilu, seperti menteri, duta besar, atau pejabat negara lainnya.
Implikasi Putusan terhadap Sistem Pemilu
Putusan MK ini memiliki implikasi signifikan terhadap sistem pemilu di Indonesia. Dengan adanya batasan yang jelas, diharapkan akan mengurangi praktik penggantian caleg terpilih yang tidak sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat. Putusan ini juga memberikan kepastian hukum bagi penyelenggara pemilu dan pemilih.
Sebelumnya, praktik pengunduran diri caleg terpilih seringkali menimbulkan polemik, terutama ketika alasannya kurang jelas atau bahkan berbau transaksional. Putusan MK ini diharapkan dapat mencegah praktik tersebut dan memperkuat integritas proses demokrasi di Indonesia.
Lebih lanjut, putusan ini menekankan pentingnya melindungi suara pemilih. Suara pemilih harus dihormati dan diwujudkan, dan penggantian caleg terpilih hanya dapat dilakukan dalam kondisi yang sangat terbatas dan terukur, demi menjaga prinsip kedaulatan rakyat.
Kesimpulan
Putusan MK ini merupakan langkah penting dalam memperkuat sistem pemilu di Indonesia. Dengan memberikan batasan yang jelas terhadap penggantian caleg terpilih, putusan ini diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap proses demokrasi dan melindungi hak-hak konstitusional pemilih. Kejelasan aturan ini diharapkan dapat mencegah penyalahgunaan dan memastikan suara rakyat terlindungi.