MUI Tegas: Sertifikasi Halal Wajib, Tak Ternegosiasikan!
Ketua MUI Bidang Fatwa menegaskan kewajiban sertifikasi halal di Indonesia tidak dapat dinegosiasikan, meskipun mendapat protes dari Amerika Serikat.

Jakarta, 6 Mei 2024 - Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa, Asrorun Niam Sholeh, dengan tegas menyatakan bahwa kewajiban sertifikasi halal untuk produk yang beredar di Indonesia tidak dapat dinegosiasikan. Pernyataan ini disampaikan sebagai respons terhadap protes yang dilontarkan oleh Amerika Serikat (AS).
Pernyataan tersebut disampaikan langsung oleh Asrorun Niam di Jakarta pada Selasa lalu. Ia menekankan bahwa Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal mengatur dengan jelas kewajiban sertifikasi halal bagi semua produk yang masuk, beredar, dan diperjualbelikan di wilayah Indonesia. Hal ini, menurutnya, merupakan implementasi dari perlindungan hak asasi manusia, khususnya hak beragama, yang dijamin oleh konstitusi.
Niam menjelaskan bahwa prinsip dalam fiqih muamalah bukan terletak pada mitra dagang, melainkan pada aturan mainnya. Indonesia, tegasnya, tidak melarang perdagangan dengan negara mana pun, termasuk AS, selama dilakukan dengan saling menghormati, menguntungkan, dan tanpa tekanan politik. Ia menambahkan bahwa mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, dan setiap muslim terikat oleh kehalalan produk yang dikonsumsi.
Sertifikasi Halal: Perlindungan Konsumen dan Hak Asasi Manusia
Lebih lanjut, Asrorun Niam menjelaskan bahwa aturan sertifikasi halal merupakan bentuk perlindungan negara terhadap konsumsi masyarakat dan dijamin dalam kerangka hak asasi manusia. Ia menilai protes AS terhadap kewajiban ini seharusnya tidak menjadi isu besar, mengingat sistem sertifikasi halal juga telah diakui di Amerika Serikat.
Niam bahkan menceritakan pengalamannya mengunjungi berbagai negara bagian di AS untuk memastikan produk impor ke Indonesia memenuhi standar kehalalan. Ia menegaskan, "Kalau Amerika berbincang soal hak asasi manusia, maka soal sertifikasi halal bagian dari implementasi penghormatan dan penghargaan terhadap hak asasi yang paling mendasar yaitu hak beragama." Meskipun demikian, ia mengusulkan ruang kompromi dalam aspek teknis, seperti penyederhanaan administrasi dan efisiensi biaya serta waktu pengurusan. Namun, ia menekankan bahwa substansi kehalalan tidak boleh dikompromikan.
Niam mengingatkan agar kepentingan ekonomi jangan sampai mengorbankan hal fundamental yang berkaitan dengan hak dasar masyarakat Indonesia. "Jangan hanya karena ingin memperoleh insentif pajak dari proses resiprokasi ini, mengorbankan hal yang bersifat fundamental sehingga hak dasar masyarakat Indonesia tercabut," tegasnya.
Protes AS dan Hambatan Perdagangan
Sebelumnya, Presiden AS Donald Trump telah memprotes kebijakan sertifikasi halal Indonesia. Dalam laporan tahunan Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR), pemerintah AS menyatakan kebijakan sertifikasi halal menghambat perdagangan negaranya ke Indonesia. Hambatan-hambatan perdagangan tersebut tertuang dalam National Trade Estimate (NTE) Report on Foreign Trade Barriers 2025 yang dirilis pada 31 Maret 2025. Laporan tersebut menyebutkan keberatan AS terhadap kebijakan sertifikasi halal yang mengharuskan barang impor dari AS melalui uji kehalalan terlebih dahulu.
Meskipun terdapat protes dari AS, MUI tetap berpegang teguh pada Undang-Undang Jaminan Produk Halal. Mereka menekankan pentingnya melindungi hak konsumen muslim Indonesia untuk mengakses produk halal. MUI membuka ruang dialog untuk membahas aspek teknis, namun substansi kewajiban sertifikasi halal tetap tidak dapat ditawar.
Ke depan, diharapkan akan tercipta kesepahaman antara Indonesia dan AS terkait kebijakan sertifikasi halal ini. Komunikasi dan negosiasi yang konstruktif sangat penting untuk mencapai solusi yang saling menguntungkan dan menghormati kedaulatan hukum masing-masing negara.