Nelayan NTB Tolak VMS: Beban Berat, Ancaman Eksistensi?
Serikat Nelayan Independen NTB menolak kebijakan pemerintah terkait pemasangan VMS di kapal nelayan kecil, menilai kebijakan tersebut memberatkan dan mengancam mata pencaharian mereka.
Nelayan Nusa Tenggara Barat (NTB) menolak pemasangan Vessel Monitoring System (VMS). Ketua Umum Serikat Nelayan Independen NTB, Hasan Gauk, menyatakan penolakan tersebut pada Senin, 27 Januari 2020 di Mataram. Ia menegaskan kebijakan VMS dinilai memberatkan nelayan kecil yang sudah menghadapi kondisi ekonomi sulit.
Hasan Gauk menekankan bahwa pemerintah seakan mengabaikan realita di lapangan. Nelayan kecil di NTB menghadapi banyak tantangan, termasuk fluktuasi harga dan sulitnya akses peralatan modern. Kebijakan VMS, menurutnya, menambah beban yang tidak masuk akal. "Apakah pemerintah benar-benar memahami situasi yang dihadapi nelayan kecil?" tegasnya.
Ia menambahkan bahwa dampak pemasangan VMS tidak hanya soal pengawasan, tetapi juga mengancam eksistensi nelayan kecil. Biaya operasional yang meningkat dianggap sebagai beban tambahan yang signifikan. Lebih jauh, Hasan Gauk mengungkapkan rasa khawatir bahwa kebijakan ini memberikan kesan nelayan sebagai pelanggar hukum yang harus selalu diawasi, padahal mereka hanya berjuang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Selain VMS, Hasan Gauk juga menyoroti masalah pembatasan kuota tangkap dan PNBP 5 persen yang dianggap memberatkan nelayan kecil. Menurutnya, pembatasan kuota menyulitkan nelayan beradaptasi dengan permintaan pasar yang terus meningkat. Ia mempertanyakan tujuan kebijakan ini dan meminta transparansi dalam pengambilan keputusan. "Untuk siapa semua ini? Apakah pemerintah ingin menghancurkan sumber kehidupan nelayan?" tanyanya.
Hasan Gauk meminta dialog konstruktif dan transparansi. Ia menekankan pentingnya pemerintah mendengarkan suara nelayan dan memahami kondisi di lapangan. Ia juga meminta penghentian praktik diskriminatif yang hanya menguntungkan pihak tertentu. Ancaman aksi penolakan massal dari nelayan disampaikan sebagai bentuk desakan perubahan kebijakan.
Sebelumnya, ratusan nelayan di Lombok Timur juga menggelar aksi unjuk rasa di Gedung DPRD Provinsi NTB untuk menolak VMS. Ketua Forum Nelayan Lombok (Fornel), Rusdi Ariobo, menyatakan penolakan tersebut karena biaya operasional VMS yang mahal dan memberatkan nelayan kecil. Ia menilai teknologi VMS lebih relevan untuk kapal besar, bukan kapal nelayan kecil.
Rusdi Ariobo menambahkan bahwa sering terjadi gangguan teknis pada VMS yang menghambat operasional nelayan. Fornel meminta pencabutan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 42/PERMENKP/2015 tentang Sistem Pemantauan Kapal Perikanan dan meminta pemerintah mengganti metode pengawasan dengan berbasis komunitas nelayan atau teknologi sederhana yang lebih murah.
Permasalahan ini menyoroti pentingnya dialog antara pemerintah dan nelayan untuk mencapai solusi yang berkelanjutan dan berkeadilan. Ke depannya, diperlukan kebijakan yang mempertimbangkan kondisi dan kebutuhan nelayan kecil di NTB agar keberlangsungan usaha mereka tetap terjaga.