Ormas 'Preman' Resahkan Dunia Usaha: DPR Desak Peningkatan Penegakan Hukum
Wakil Ketua Komisi VII DPR, Evita Nursanty, mendesak pemerintah untuk menertibkan ormas yang kerap melakukan pungutan liar dan premanisme, karena sangat merugikan dunia usaha dan pertumbuhan ekonomi.

Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Evita Nursanty, menyoroti maraknya aksi organisasi masyarakat (ormas) yang meresahkan dunia usaha di Indonesia. Ormas-ormas tersebut kerap meminta "jatah" atau THR kepada pelaku usaha, bahkan melakukan pungutan liar dan tindakan premanisme. Hal ini disampaikan Evita dalam keterangannya di Jakarta pada Kamis, 24 April. Ia menegaskan bahwa praktik-praktik tersebut harus segera ditertibkan karena berdampak buruk pada iklim investasi dan pertumbuhan ekonomi nasional.
Evita menjelaskan bahwa pungutan liar yang dilakukan ormas-ormas tersebut menimbulkan kerugian nyata bagi dunia usaha. Banyak pelaku usaha, khususnya UMKM, merasa terbebani dengan biaya tak resmi yang sifatnya pemerasan. Kondisi ini diperparah dengan aksi-aksi intimidasi dan demonstrasi yang dilakukan oleh beberapa ormas, bahkan hingga penyegelan tempat usaha. Akibatnya, banyak investasi yang batal masuk atau bahkan keluar dari Indonesia, terutama di kawasan industri Jabodetabek, Banten, dan beberapa wilayah di Sumatera.
"Kondisi seperti itu tidak boleh dibiarkan terus menerus, harus ditertibkan aksi-aksi seperti ini karena merugikan lingkungan industri, yang pada akhirnya mengganggu kenyamanan dan keamanan warga," tegas Evita. Ia menambahkan bahwa praktik-praktik tersebut juga menurunkan kepercayaan pelaku industri, baik investor asing maupun domestik. Ketidakpastian hukum dan keamanan usaha menjadi penghambat utama pertumbuhan ekonomi.
Praktik Pungli dan Premanisme Ormas: Ancaman bagi Dunia Usaha
Himpunan Kawasan Industri (HKI) Indonesia telah melaporkan keresahan para investor dan pelaku industri terkait aksi-aksi ormas yang mengganggu operasional usaha mereka. Beberapa ormas bahkan menuntut "jatah" dalam pembangunan pabrik dan melakukan demonstrasi serta penyegelan. Evita menyebut, keberadaan ormas yang menyimpang dari fungsi sosialnya telah menjelma menjadi aktor informal yang merongrong ketertiban dan rasa aman para pelaku usaha, khususnya UMKM yang operasionalnya tidak besar.
Selain pungli, Evita juga menyoroti aksi premanisme yang dilakukan beberapa ormas. Contohnya, pembakaran mobil yang dilakukan anggota ormas di Jawa Barat saat polisi hendak menangkap pimpinannya yang terlibat tindak pidana. Peristiwa ini dinilai sebagai pelecehan terhadap aparat penegak hukum dan ancaman nyata terhadap keamanan dan ketertiban masyarakat. Evita menekankan pentingnya tindakan tegas terhadap pelaku premanisme tersebut.
Lebih lanjut, Evita juga mengkritik aksi premanisme yang dilakukan oleh oknum ormas yang berkedok sebagai jasa penagihan atau debt collector. Aksi-aksi penarikan kendaraan tanpa prosedur hukum yang dilakukan oleh oknum-oknum ini telah menciptakan ketakutan di lingkungan masyarakat, bahkan seringkali berujung kriminal. Sebagai contoh, peristiwa pengeroyokan seorang perempuan oleh 11 oknum debt collector di depan kantor Polsek Bukit Raya, Kota Pekanbaru, yang viral di media sosial, sangat memprihatinkan dan mencoreng upaya pemulihan sektor pembiayaan pasca pandemi.
Desakan kepada Aparat Penegak Hukum dan Pemerintah
Evita mendesak aparat penegak hukum untuk lebih sigap dan tegas dalam menangani kasus-kasus yang melibatkan ormas yang bertindak di luar batas. Ia menekankan pentingnya kehadiran polisi di tengah masyarakat untuk memberikan rasa aman dan keadilan. "Polri harus terus hadir di tengah masyarakat untuk menenangkan hati rakyat. Masyarakat berharap polisi bisa bekerja penuh keadilan dan sigap, tidak pandang bulu, tidak perlu menunggu peristiwa viral terlebih dahulu," tegas Evita.
Tidak hanya itu, Evita juga mendesak pemerintah untuk meninjau ulang eksistensi dan pengawasan terhadap ormas-ormas yang bermasalah. Pemerintah perlu memastikan bahwa organisasi masyarakat tidak menjadi sarang kekerasan yang mengganggu stabilitas dan kenyamanan warga. Jika diperlukan, pembubaran ormas yang terbukti meresahkan masyarakat harus dilakukan. Evita juga menyoroti dampak negatif ormas yang meresahkan terhadap sektor pariwisata, di mana wisatawan seringkali menjadi korban pungli dan intimidasi.
Evita menambahkan bahwa fenomena ormas yang meresahkan tumbuh subur karena lemahnya penegakan hukum dan budaya permisif terhadap kelompok berbasis kekuatan massa. Selama aparat masih berkompromi dengan ormas yang memiliki afiliasi politik atau dukungan massa besar, premanisme akan sulit diberantas. Ia mengajak seluruh elemen masyarakat untuk tidak mudah terprovokasi dan turut menjaga iklim damai di tengah dinamika sosial politik saat ini. DPR RI akan terus mengawal penegakan hukum dan mendorong terciptanya rasa aman di tengah masyarakat, khususnya di dunia industri dan pariwisata.
"Ketika hukum dilecehkan oleh kekuatan massa yang arogan, maka yang terancam adalah rakyat, yang di dalamnya juga ada pelaku-pelaku usaha kecil. Kita menunggu ketegasan dan solusi dari pemerintah mengenai hal ini," tutup Evita.