Pakar Unej Soroti Tantangan di Balik Visi Ambisius RAPBN 2026
Pakar ekonomi Unej, Adhitya Wardhono, memberikan catatan kritis terhadap pidato Presiden Prabowo mengenai RAPBN 2026, menyoroti tantangan implementasi visi Indonesia Tangguh.

Pakar ekonomi terkemuka dari Universitas Jember (Unej), Adhitya Wardhono, PhD, baru-baru ini memberikan analisis mendalam terkait pidato Presiden Prabowo Subianto mengenai Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026. Pidato tersebut mengusung visi ambisius "Indonesia Tangguh-Mandiri-Sejahtera" yang menjadi landasan kebijakan fiskal pemerintah. Analisis ini disampaikan di Kabupaten Jember, Jawa Timur, menyoroti berbagai aspek krusial dari proyeksi anggaran negara.
Visi besar tersebut diproyeksikan akan dicapai melalui pertumbuhan ekonomi sebesar 5,4 persen, inflasi yang terkendali pada angka 2,5 persen, serta penurunan tingkat pengangguran terbuka menjadi 4,44–4,96 persen. Target-target makroekonomi ini disusun di tengah lanskap global yang penuh ketidakpastian. Situasi ini meliputi perang dagang, volatilitas pasar keuangan dan komoditas, hingga ancaman siber yang terus berkembang, menuntut respons fiskal yang adaptif dan strategis.
Adhitya Wardhono menekankan bahwa meskipun target-target ini progresif, pencapaiannya akan sangat bergantung pada efektivitas implementasi kebijakan dan kemampuan pemerintah dalam mengelola risiko eksternal. Catatan ini menjadi penting untuk memastikan bahwa setiap alokasi anggaran benar-benar mampu mendorong tercapainya visi Indonesia Emas 2045.
Memperkuat Ketahanan Energi dan Transisi EBT
Presiden Prabowo Subianto dalam pidatonya menunjukkan komitmen kuat terhadap penguatan ketahanan energi nasional. Alokasi anggaran sebesar Rp402,4 triliun untuk sektor ini merupakan indikasi keseriusan pemerintah. Anggaran ini bertujuan memastikan pasokan energi yang stabil dan terjangkau bagi masyarakat, sekaligus mempersiapkan transisi menuju energi baru terbarukan (EBT).
Menurut Adhitya Wardhono, proyek-proyek EBT, seperti pembangkit listrik tenaga surya, hidro, dan panas bumi, memang menjanjikan. Namun, implementasinya memerlukan modal investasi yang sangat besar, teknologi canggih, serta ketersediaan sumber daya manusia yang memadai. Tanpa skema pembiayaan yang kreatif dan keterlibatan aktif dari sektor swasta, transisi energi ini berpotensi menjadi beban fiskal yang signifikan bagi negara.
Pakar ekonomi moneter ini menilai bahwa target pembangkitan listrik 100 persen dari EBT dalam kurun waktu 10 tahun adalah visi yang sangat progresif. Target ini sejalan dengan komitmen Indonesia dalam pengurangan emisi karbon global. Namun, pencapaiannya memerlukan percepatan pembangunan infrastruktur energi, ketersediaan teknologi penyimpanan energi yang efisien, dan kebijakan insentif yang menarik bagi para investor. Pengalaman dari berbagai negara lain menunjukkan bahwa keberhasilan transisi energi membutuhkan kombinasi regulasi yang konsisten, dukungan pembiayaan yang kuat, serta keterlibatan aktif dari sektor swasta.
Prioritas Pembangunan Generasi Unggul dan Program MBG
Salah satu prioritas utama dalam RAPBN 2026 adalah komitmen Indonesia untuk membangun generasi unggul, khususnya dalam rangka mencapai visi Indonesia Emas 2045. Komitmen ini diimplementasikan melalui berbagai program, salah satunya adalah program Makan Bergizi Gratis (MBG). Program ini dirancang untuk mengatasi masalah stunting dan secara signifikan meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia.
Alokasi anggaran sebesar Rp335 triliun untuk program MBG merupakan langkah penting dan strategis. Namun, Adhitya Wardhono, yang juga dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Unej, menekankan bahwa tantangan utama terletak pada efektivitas implementasi di lapangan. Keberhasilan program ini sangat bergantung pada bagaimana anggaran tersebut didistribusikan dan diawasi.
Oleh karena itu, alokasi anggaran sebesar Rp335 triliun tersebut harus diiringi dengan pengawasan yang sangat ketat. Hal ini penting untuk memastikan distribusi yang tepat sasaran, kualitas makanan yang diberikan terjaga, serta pemberdayaan usaha mikro kecil menengah (UMKM) dan ekonomi lokal benar-benar terdampak positif. Tanpa pengawasan yang memadai, potensi kebocoran atau inefisiensi dalam program bisa terjadi.