Peguyuban Keris Nusantara Pertanyakan Penetapan Hari Keris Nasional 19 April
Senapati Nusantara mempertanyakan penetapan Hari Keris Nasional 19 April, usulkan tanggal 25 November sesuai pengakuan UNESCO.

Sebanyak 63 peguyuban keris yang tergabung dalam Senapati Nusantara (Serikat Nasional Pelestari Tosan Aji Nusantara) mempertanyakan penetapan Hari Keris Nasional yang jatuh pada tanggal 19 April. Mereka menilai bahwa tanggal tersebut lemah secara historis dan tidak memiliki legitimasi budaya yang kuat. Penetapan ini dianggap hanya merujuk pada kirab pembukaan kongres SNKI (Serikat Nasional Keris Indonesia), bukan pada momen penting dalam sejarah bangsa.
Wakil Sekretaris Jenderal Senapati Nusantara, Nurjianto, menegaskan bahwa keris adalah warisan leluhur yang seharusnya tidak diklaim sebagai milik satu organisasi saja. Menurutnya, penetapan Hari Keris Nasional seharusnya didasarkan pada momen yang lebih signifikan dan memiliki dasar historis yang kuat. Ia juga menambahkan bahwa banyak tokoh yang berjuang untuk memperkenalkan keris ke dunia internasional merasa terabaikan dengan adanya penetapan ini.
Senapati Nusantara mengusulkan tanggal 25 November sebagai Hari Keris Nasional yang tepat. Tanggal ini bertepatan dengan pengakuan UNESCO terhadap keris Indonesia sebagai Warisan Budaya Tak Benda Kemanusiaan pada tahun 2005. Pengakuan UNESCO ini menjadi bukti nyata bahwa keris memiliki nilai universal dan diakui oleh dunia internasional.
Alasan Historis dan Dukungan Data Akademik
Selain alasan historis yang kuat, usulan 25 November sebagai Hari Keris Nasional juga didukung oleh data akademik. Kajian kolaboratif pada tahun 2018 antara Puslitjakdikbud Kemendikbud RI dan Litbang Senapati Nusantara menunjukkan bahwa 90,1 persen responden masyarakat budaya mendukung tanggal tersebut sebagai Hari Keris Nasional. Data ini semakin memperkuat argumen bahwa 25 November adalah tanggal yang paling representatif dan memiliki dukungan luas dari berbagai kalangan.
Penolakan terhadap tanggal 19 April sebagai Hari Keris Nasional telah dituangkan dalam pernyataan tertulis resmi dari berbagai peguyuban di seluruh Indonesia. Peguyuban-peguyuban ini berasal dari berbagai daerah, seperti Surabaya, Kediri, Blitar, Grobogan, Magelang, Sumenep, Pekalongan, Lombok, Sulawesi, Sumba, Kalimantan, dan Kepulauan Riau. Dokumen-dokumen ini siap dikirimkan ke pemerintah pusat sebagai bentuk tanggung jawab moral dan kecintaan terhadap budaya bangsa.
“Banyak tokoh yang berjuang membawa keris ke dunia internasional bahkan telah wafat, dan mengabaikan pengakuan UNESCO sama dengan menghapus sejarah mereka,” ujar Nurjianto.
Pertanyakan Keputusan Menteri Kebudayaan
Senapati Nusantara juga mempertanyakan keputusan Menteri Kebudayaan RI yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Serikat Nasional Keris Indonesia (SNKI), Fadli Zon, yang dinilai sepihak dalam mencanangkan 19 April sebagai Hari Keris Nasional. Pencanangan ini dilakukan dalam acara resmi di Universitas Brawijaya, Malang, pada 19 April 2025.
Menurut mereka, keputusan ini tidak melibatkan partisipasi aktif dari berbagai pihak yang berkepentingan, termasuk peguyuban-peguyuban keris yang telah lama berkecimpung dalam pelestarian dan pengembangan keris. Mereka menganggap bahwa penetapan Hari Keris Nasional seharusnya dilakukan melalui proses dialog dan konsultasi yang melibatkan seluruh elemen masyarakat budaya.
“Kami tidak menolak Hari Keris. Kami menolak pemalsuan sejarah. Keris bukan alat selebrasi organisasi. Keris adalah pusaka bangsa yang ditetapkan dunia bukan ditentukan oleh ulang tahun kongres,” tegas Nurjianto.
Senapati Nusantara mengajak seluruh masyarakat untuk terus mengawal perjuangan ini hingga pemerintah menetapkan 25 November sebagai Hari Keris Nasional yang sah, bermartabat, dan sejalan dengan pengakuan dunia. Penetapan ini diharapkan dapat menjadi momentum untuk semakin meningkatkan kesadaran dan apresiasi terhadap keris sebagai warisan budaya bangsa yang tak ternilai harganya.