Pemkab Kotim Perbaiki Masalah HGU Perusahaan Besar Swasta Secara Bertahap
Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) berupaya menyelesaikan masalah Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan besar swasta secara bertahap, kendati terkendala aturan tumpang tindih dan proses administrasi yang panjang.

Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), Kalimantan Tengah, tengah berupaya menyelesaikan permasalahan Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan besar swasta (PBS) yang cukup kompleks. Permasalahan ini melibatkan berbagai regulasi, proses administrasi yang panjang, dan bahkan perusahaan yang dinilai ‘nakal’. Potensi penerimaan daerah yang cukup besar dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) juga menjadi perhatian utama dalam penyelesaian masalah ini.
Asisten II Bidang Perekonomian dan Pembangunan Setda Kotim, Alang Arianto, menjelaskan bahwa akar permasalahan ini bermula dari tahun 2003, ketika peta Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) Kalimantan Tengah masih berlaku dan investasi di daerah belum semasif sekarang. Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Kalimantan Tengah, yang dikeluarkan saat itu, mengacu pada peta TGHK tersebut. Namun, munculnya Surat Keputusan (SK) 529 Tahun 2012 tentang Penunjukan Kawasan Hutan oleh Menteri Kehutanan mengubah status beberapa kawasan yang telah disepakati, termasuk kawasan yang sudah terlanjur diinvestasikan.
Situasi ini menyebabkan tumpang tindih aturan dan proses penyelesaian yang panjang. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 2012 dan PP Nomor 104 Tahun 2015 kemudian diterbitkan untuk mengatur tata cara perubahan fungsi dan peruntukan kawasan hutan, termasuk tukar menukar kawasan hutan. Proses ini membutuhkan waktu yang cukup lama, bahkan hingga dua sampai tiga tahun untuk penetapan tata batas melalui Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Kalimantan Tengah, sebelum pengajuan HGU dapat dilanjutkan.
Permasalahan dan Upaya Penyelesaian HGU PBS di Kotim
Lebih dari 50 PBS di Kotim, sebagian telah mengurus HGU, namun masih ada yang terganjal proses administrasi yang panjang dan rumit. Proses penetapan batas wilayah melalui BPKH, misalnya, menerapkan sistem antrean dan bukan hanya menangani penetapan batas untuk PBS. Terbitnya Perpres Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan juga menambah kompleksitas situasi, karena belum jelas dampaknya terhadap proses HGU yang masih berjalan.
Beberapa PBS masih berpedoman pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, yang mengizinkan operasi selama memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP). Namun, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja mendorong kepemilikan HGU selain IUP. Pemerintah daerah terus berupaya mendorong hal ini, bahkan hingga ke tingkat nasional, dengan meminta bantuan kepada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk menyelesaikan masalah tumpang tindih perizinan.
Potensi penerimaan daerah dari BPHTB yang mencapai Rp844 miliar dari 16 PBS yang belum mengantongi HGU menjadi motivasi utama bagi Pemkab Kotim untuk menyelesaikan masalah ini. Namun, prosesnya membutuhkan waktu dan kerjasama berbagai pihak, termasuk pemerintah pusat dan perusahaan-perusahaan terkait.
Meskipun terdapat beberapa PBS yang dianggap ‘nakal’, Pemkab Kotim berkomitmen untuk menyelesaikan masalah HGU secara bertahap dan sesuai regulasi yang berlaku. Upaya ini melibatkan berbagai kementerian dan lembaga terkait untuk memastikan kepastian hukum dan investasi di Kotim.
Proses penyelesaian HGU ini tidak hanya berdampak pada penerimaan daerah, tetapi juga pada kepastian berusaha bagi PBS dan keberlanjutan pembangunan di Kotim. Oleh karena itu, upaya yang dilakukan oleh Pemkab Kotim patut diapresiasi dan diharapkan dapat segera membuahkan hasil yang positif.
Ke depan, koordinasi yang lebih intensif antara pemerintah daerah, pemerintah pusat, dan perusahaan-perusahaan terkait sangat penting untuk memastikan proses penyelesaian HGU berjalan lancar dan efisien. Transparansi dan akuntabilitas juga perlu dijaga untuk mencegah praktik-praktik yang merugikan negara dan masyarakat.