Pengungkapan Kasus Pelecehan Seksual di Pondok Pesantren Jakarta Timur
Polisi Jakarta Timur menangkap CH (47), pimpinan Pondok Pesantren Ad-Diniyah, karena melakukan pelecehan seksual terhadap dua santrinya sejak 2019 dengan modus pijat dan onani, mengklaim untuk menyembuhkan penyakit.

Jakarta, 21 Januari 2024 - Kepolisian Resort Metro Jakarta Timur berhasil mengungkap kasus pelecehan seksual di Pondok Pesantren Ad-Diniyah, Pondok Kelapa, Duren Sawit. Tersangka, CH (47), yang merupakan pimpinan sekaligus guru di pondok pesantren tersebut, telah melakukan tindakan pencabulan terhadap dua santrinya.
Kapolres Metro Jakarta Timur, Komisaris Besar Polisi Nicolas Ary Lilipaly, menyatakan bahwa CH telah melakukan pelecehan seksual terhadap para korban, MFR (17) dan RN (17), sejak tahun 2019 hingga 2024. Tindakan bejat ini dilakukan di kamar khusus milik CH di dalam pondok pesantren, sekaligus di rumahnya yang berada di lokasi yang sama.
Modus operandi CH cukup licik. Ia awalnya mengajak para korban untuk memijatnya di kamar pribadinya. Selanjutnya, ia meminta korban melakukan tindakan-tindakan yang membuatnya terangsang. Menurut keterangan polisi, CH meyakini bahwa dengan memuaskan nafsunya, penyakit yang dideritanya akan sembuh. Hal inilah yang selalu disampaikannya kepada korban sebelum melakukan tindakan onani.
Aksi pencabulan juga dilakukan di rumah pribadi CH saat istrinya mengajar di pondok pesantren dan saudaranya tidak berada di rumah. Meskipun perilaku CH pernah dipergoki oleh istrinya dan saudaranya, namun ia tetap mengulangi perbuatannya. Istri CH telah mengingatkannya, tetapi CH tetap melakukan aksi tersebut.
Kamar khusus milik CH di pondok pesantren hanya dapat diakses oleh dirinya sendiri. Hal ini memudahkannya untuk melakukan aksi bejatnya tanpa diketahui orang lain. Lokasi yang terisolasi ini memperkuat dugaan adanya upaya untuk menyembunyikan perbuatan tersebut.
Atas perbuatannya, CH dijerat dengan Pasal 76E junto Pasal 82 Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak. Ancaman hukumannya adalah pidana penjara selama 15 tahun ditambah sepertiga.
Kasus ini menjadi pengingat pentingnya perlindungan anak, terutama di lingkungan pendidikan seperti pondok pesantren. Penting bagi semua pihak untuk meningkatkan pengawasan dan memberikan edukasi mengenai pencegahan kekerasan seksual terhadap anak.