Perubahan Iklim Ancam Danau Toba: Banjir dan Longsor Makin Sering Terjadi
Peningkatan suhu dan curah hujan akibat perubahan iklim menyebabkan bencana banjir dan longsor di Danau Toba meningkat, mengancam ekosistem dan statusnya sebagai Destinasi Super Prioritas serta UNESCO Global Geopark.

Banjir dan longsor yang semakin sering terjadi di kawasan Danau Toba dalam beberapa dekade terakhir telah menimbulkan kekhawatiran serius. Penelitian Irawadi et al. (2023) di jurnal Scientific Reports Nature menunjukkan peningkatan signifikan suhu (0,006 °C per tahun) dan curah hujan (0,71 mm per tahun) selama 40 tahun terakhir di kawasan tersebut, sejalan dengan tren global. Bencana-bencana baru-baru ini, seperti di Desa Simangulappe dan Kota Parapat, semakin menguatkan temuan ini dan didukung data BPS Sumut yang menunjukkan peningkatan tajam kejadian bencana banjir dan longsor periode 2018-2023.
Perubahan pola curah hujan yang diperkirakan meningkat di masa depan mengancam berbagai sektor di Danau Toba, terutama pertanian, perikanan, dan lingkungan. Kondisi geografis Danau Toba yang dikelilingi perbukitan dan pegunungan di Bukit Barisan meningkatkan kerentanan terhadap banjir dan longsor. Kenaikan permukaan air Danau Toba, baik berdasarkan pengamatan langsung maupun satelit, juga menjadi indikator dampak perubahan iklim. Kenaikan muka air lebih dari 1,5 meter telah merusak infrastruktur, fasilitas wisata, dan mengganggu mata pencaharian petani dan nelayan.
Dampak perubahan iklim di Danau Toba tidak hanya terbatas pada bencana hidrometeorologi. Peningkatan suhu juga berpotensi mengganggu sektor pertanian, mengancam ketahanan pangan masyarakat yang sebagian besar bergantung pada pertanian tradisional. Ketidakpastian cuaca dan iklim yang semakin tinggi meningkatkan risiko gagal panen dan mengancam perekonomian masyarakat sekitar Danau Toba.
Ancaman terhadap Status Danau Toba sebagai Destinasi Super Prioritas dan UNESCO Global Geopark
Status Danau Toba sebagai Destinasi Super Prioritas (DSP) dan UNESCO Global Geopark (UGG) terancam oleh peningkatan frekuensi bencana banjir dan longsor. Pengembangan pariwisata dan pembangunan infrastruktur yang pesat perlu mempertimbangkan dampak perubahan iklim. Pemantauan ketat terhadap aktivitas pembangunan dan analisis dampak lingkungan yang komprehensif sangat penting untuk menjaga kelestarian ekosistem Danau Toba.
Peningkatan pembangunan hotel dan spot wisata, seperti di Sibea-bea Samosir, harus diimbangi dengan upaya mitigasi bencana. Jika intensitas bencana terus meningkat, status DSP dan UGG Danau Toba berisiko dicabut, yang akan berdampak negatif bagi perekonomian nasional dan masyarakat setempat. Oleh karena itu, pelestarian ekosistem Danau Toba harus menjadi prioritas utama.
Upaya pelestarian ekosistem Danau Toba membutuhkan pendekatan holistik yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan, termasuk individu, kelompok sosial, pengusaha, dan pemerintah. Kesadaran bersama tentang pentingnya menjaga kelestarian ekosistem Danau Toba harus terus ditingkatkan.
Upaya Mitigasi dan Adaptasi Bencana
- Menjaga keseimbangan tutupan vegetasi hutan dan lahan terbuka: Hal ini penting untuk mencegah longsor dan mengurangi dampak banjir.
- Kajian ulang rencana tata ruang: Rencana tata ruang perlu mempertimbangkan dampak perubahan iklim yang signifikan.
- Pengawasan ketat terhadap aktivitas yang berdampak negatif: Pengawasan yang ketat diperlukan untuk mencegah aktivitas yang merusak ekosistem Danau Toba.
Dengan menerapkan langkah-langkah mitigasi dan adaptasi yang tepat, keindahan dan kelestarian Danau Toba dapat tetap terjaga, sehingga statusnya sebagai DSP dan UGG dapat dipertahankan untuk generasi mendatang. Permasalahan bencana banjir dan longsor di Danau Toba tidak boleh dianggap sepele mengingat perannya yang strategis, baik secara lokal maupun nasional.