PKL KIW Semarang Mengadu ke DPRD: Dilarang Berjualan, Nasib Ribuan Pekerja Terancam?
Puluhan PKL di Kawasan Industri Wijayakusuma (KIW) Semarang mengadu ke DPRD karena dilarang berjualan, menimbulkan kekhawatiran akan dampak ekonomi bagi para pedagang dan pekerja.

Apa, Siapa, Di mana, Kapan, Mengapa, dan Bagaimana? Puluhan pedagang kaki lima (PKL) dan pedagang keliling di Kawasan Industri Wijayakusuma (KIW) Semarang mengadu ke DPRD Kota Semarang pada Rabu, 5 Juli 2023, karena dilarang berjualan di kawasan tersebut. Larangan ini bermula dari pergantian direksi KIW, yang dinilai pedagang sebagai tindakan sewenang-wenang tanpa pemberitahuan resmi. Para pedagang, yang telah berjualan selama bertahun-tahun, merasa dirugikan karena penghasilan mereka terancam. Mereka menolak relokasi ke food court yang dinilai jauh dan mahal.
Wagimin, salah satu perwakilan pedagang keliling, mengungkapkan keresahannya. "Sekarang kami mau masuk ke KIW dihalangi, kami disuruh berjualan di luar kawasan. Padahal kami sudah berjualan di sana sangat lama dan kami juga memiliki hubungan yang baik dengan pihak direksi," ujarnya. Para pedagang merasa kebijakan ini tidak adil, mengingat mereka telah membayar retribusi dan selama ini tidak pernah menimbulkan masalah.
Larangan tersebut menimbulkan kekhawatiran akan dampak ekonomi bagi para pedagang dan juga para pekerja di KIW yang selama ini bergantung pada keberadaan PKL tersebut. Keberadaan PKL dinilai mengurangi angka kriminalitas dan kemiskinan, seperti yang disampaikan oleh Ketua YLBH Penyambung Titipan Rakyat (Petir), Zainal Abidin. Situasi ini menunjukkan perlunya solusi yang adil dan mempertimbangkan kesejahteraan semua pihak yang terlibat.
Perjuangan PKL KIW Semarang: Relokasi yang Tak Memuaskan
Para pedagang menolak rencana relokasi ke food court yang ditawarkan manajemen KIW. Mereka beralasan lokasi food court yang jauh dari area pabrik membuat para pekerja enggan mendatanginya. Hal ini akan berdampak langsung pada pendapatan para pedagang. Selain itu, biaya retribusi di food court yang mencapai Rp700.000 per bulan jauh lebih mahal dibandingkan retribusi harian sebesar Rp5.000 yang mereka bayarkan selama ini.
Ketua YLBH Petir, Zainal Abidin, menjelaskan bahwa para PKL hanya berjualan selama dua jam dalam sehari, yaitu saat waktu istirahat dan lembur karyawan. Mereka juga tidak mendirikan bangunan permanen, melainkan menggunakan kendaraan atau pikulan. "Mereka jualan setiap hari cuma dua jam, pagi, nanti saat istirahat, dan kalau ada lembur," jelasnya. Kondisi ini menunjukkan bahwa aktivitas jual beli PKL tidak mengganggu operasional pabrik.
Zainal Abidin menekankan peran penting PKL dalam perekonomian daerah dan upaya mengurangi angka kriminalitas dan kemiskinan. Oleh karena itu, ia mendesak agar penghidupan para pedagang ini dilindungi.
DPRD Kota Semarang Turun Tangan
Menanggapi aduan para PKL, Sekretaris Komisi B DPRD Kota Semarang, Syahrul Qirom, menyatakan bahwa pihaknya akan menampung semua keluhan dan aspirasi. DPRD berjanji akan segera mengundang perwakilan direksi KIW untuk membahas masalah ini dan mencari solusi terbaik. "Nanti kami carikan solusi yang terbaik. Kami pasti dorong untuk ke depannya para pedagang keliling ini supaya bisa berjualan lagi," kata Syahrul Qirom.
Pertemuan antara DPRD, perwakilan PKL, dan manajemen KIW diharapkan dapat menghasilkan kesepakatan yang adil bagi semua pihak. Solusi yang ditemukan harus mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial, dan ketertiban di kawasan industri tersebut. Keberadaan PKL selama ini telah menjadi bagian integral dari kehidupan di KIW, dan perlu ada upaya untuk menjaga keseimbangan tersebut.
Langkah DPRD Kota Semarang untuk menjembatani konflik ini menunjukkan komitmen pemerintah daerah untuk melindungi hak-hak warga dan menciptakan solusi yang berkelanjutan. Semoga hasil dari pertemuan tersebut dapat memberikan kepastian dan keadilan bagi para PKL KIW Semarang.
Kesimpulan: Kasus larangan berjualan PKL di KIW Semarang menyoroti pentingnya dialog dan solusi yang berimbang antara kepentingan pengusaha dan kesejahteraan masyarakat. Peran DPRD Kota Semarang dalam mencari jalan keluar diharapkan dapat menjadi contoh bagi penyelesaian konflik serupa di masa mendatang.